ASSALAMUALAIKUM. WR.WB

Berjuang !
Sebuah tindakan yang kita butuhkan untuk mencapai masyarakat yang lebih baik, mempublikasi diri saya lewat dunia maya ini tak lain tak bukan, agar Dunia tahu apa yang sedang saya lakukan...apa yang saya kerjakan untuk PERUBAHAAN !
Saya butuh dukungan dari sahabat - sahabat yang membaca blog ini dalam rangka meningkatkan aktifitas dan produktifitas saya.
Saya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, saya terlahir dari keluarga yang sederhana..dari ayahnda yang bernama Sayed Abdul Rachman bin Sayed Usman dan ibunda yang bernama Syarifah Rodiah binti Tengku Sayed Umar yang mempunyai jiwa yang luar biasa...saya dilahirkan di Dumai pada hari Khamis, 19 Desember 1974, bintang Sagitarius, Shio Macan.
Saya telah menikah dengan Rr. Setyowati dan mempunyai 2 orang anak, anak pertama Sayed Aqbil Ruhullya Muntazhar , yang kedua Syarifah Risya Dara Saqueena (kelak yang melanjutkan perjuangan Ayahndanya) - SJR-

16 Juni 2008

Jatuhnya Soeharto : Akumulasi Kehendak Rakyat

“para mahasiswa sebagai kelompok pemuda harus bangkit melawan ketidak adilan sosial di negeri – negeri mereka sendiri…………para mahasiswa harus mengoreksi leadership formal di suatu negeri..” (H.Rosihan Anwar;Perjalanan Terakhir Pahlawan Nasional Sutan Syahrir, hal.74)

Menarik sekali akhir – akhir ini Republik yang kita cintai ini, terjadi polemik diantara aktor – aktor elit yang pernah “manggung” di saat – saat kritisnya nasib bangsa ini pada bulan Mei 1998. Polemik transisi kekuasaan yang diceritakan di dalam buku “putih” versi Habibie yang berjudul Detik – Detik Yang Menentukan,Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, dimana menurut Habibie dalam bukunya bahwa dia mendapat masukan dari Wiranto untuk mengeser posisi Prabowo dari Pangkostrad karena ada indikasi akan melakukan kudeta.

Saya jadi teringat juga pada cerita seorang teman tentang keterlibatannya dalam aksi – aksi untuk menjatuhkan Soeharto, sangat panjang dan berliku bahkan mengancam nyawa. Aksi – aksi yang dilakukan mahasiswa sebelum mei 1998 ( akhir tahun 1997 ) memang lebih pada di dalam lingkungan kampus, karena kawan – kawan mahasiswa saat itu tidak mau aksi tersebut di susupi “intel” yang pasti akan memprovokasi barisan aksi mahasiswa untuk bertindak anarki dan sebuah pelajaran berharganya dari peristiwa berdarah 27 juli 1996 dimana banyak orang – orang yang “tidak pulang” ke rumahnya hingga sekarang ( kita doakan mereka selalu dilindungi Allah swt, amiin ) dan sampai sekarangpun kasusnya tidak pernah terungkap siapa aktor-aktor elit yang bermain di belakangnya, dan ada benarnya juga kata Mbak Suci isteri Cak Munir,”saya lelah dengan retorika Presiden, …(Kompas 7 Oktober 2006 ), sebenarnya memang begitulah setiap pemimpin-pemimpin Republik ini tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah yang menyangkut pembunuhan politik.

Kembali lagi pada situasi 1998 saat – saat kejatuhan Soeharto, hampir tiap hari kawan – kawan mahasiswa konsolidasi, kalau ada mahasiswa yang menjadi tokoh di kampusnya, maka kemanapun dia pergi harus ada teman yang mendampinginya, memang situasi yang menegangkan saat itu.

Saya juga teringat ceritanya lagi saat Rabu 11 Mei 1998 ( Kawan-kawan Trisakti memulai demo pertamanya di kampus Stie Trisakti dan sempat bentrok juga dengan aparat ), itupun kalau saya tidak lupa, hampir semua tokoh – tokoh mahasiswa yang terlibat pada pergerakan mahasiswa di Jakarta, mengadakan rapat di IKIP Jakarta ( sekarang UIN ), agenda keputusanya mulai besok ( 12 mei 1998 ) seluruh kampus di Jakarta harus melakukan aksi menuntut Soeharto turun, dan aksi dilakukan dalam kampus masing – masing. Ternyata aksi tanggal 12 Mei tersebut menjadi titik penting dalam rangkaian menjatuhkan Soeharto, yaitu ditembaknya 4 orang mahasiswa Trisakti di Kampus Trisakti – Grogol, walau sehari sebelumnya kawan – kawan Trisakti melakukan aksi juga dan massanya tumpah ruah. Tanggal 13 Mei 1998 seluruh bangsa yang pro perubahan berkabung, peristiwa Trisakti yang berdarah tersebut menjadi spirit yang luar biasa bagi kawan – kawan mahasiswa dan tidak bisa kita lupakan sebelumnya aksi di Yogya tanggal 8 mei 1998 yang menyebabkan tewasnya Moses, serta aksi – aksi yang berdarah di Ujung Pandang, Mataram, Medan, Lampung dan sebagainya. Tanggal 13 Mei 1998 juga , kawan – kawan mahasiswa banyak melakukan aksi duka cita di kampus masing – masing karena situasi memang mencekam, lalu siaga untuk antisipasi keadaan minimal lingkungan sekitar kampus harus aman dari kerusuhan dan penjarahan.

Tanggal 17 Mei 1998, ada pertemuan lagi di kampus IKIP Jakarta, sebagiaan kawan – kawan mahasiswa yang lain meminta besok ada aksi ke gedung DPR MPR tapi tidak bermalam disana, sedangkan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jabotabek ( FKSMJ ), sepakat bahwa besok tanggal 18 Mei 1998 untuk ke gedung DPR MPR dan bermalam disana sampai Soeharto mengundurkan diri, untuk dapat masuk ke dalam gedung, kawan – kawan mahasiswa yang berjumlah 71 orang mahasiswa sebagai perwakilan kampus yang tergabung dalam FKSMJ menumpang rombongan bus dosen IKIP Jakarta yang kebetulan mau ke DPR MPR juga, malam itu kawan – kawan mahasiswa menginap di gedung DPR MPR, dan serunya waktu tengah malam ada isu akan adanya sweeping ditambah lagi kawan – kawan wartawan yang ikut menginap juga pada pulang karena mereka dihubungi oleh Pemred mereka, bahwa akan ada sweeping, dan Alhamdullilah isu tidak benar adanya, apalagi kawan –kawan mahasiswa saat itu mendapatkan jaminan dari wakil ketua DPR Syarwan Hamid yang ikut menginap di DPR MPR juga memberikan jaminan keamanan untuk kawan – kawan mahasiswa, dan hari Senin itu juga kawan – kawan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota melakukan aksi di pintu gerbang gedung DPR MPR sampai sore lalu pulang, untuk konsolidasi lagi.

Kejadian selanjutnya, Selasa 19 Mei 1998, massa mahasiswa yang berasal dari FKSMJ datang untuk menduduki DPR MPR dan dari berbagai organisasi mahasiswa manapun secara bertahap datang untuk menduduki gedung DPR MPR, akibat tekanan yang begitu kuat sehingga seluruh Fraksi di DPR sepakat bahwa Soeharto harus mengundurkan diri dan disampaikan pada pimpinan DPR. Hari itu juga Soeharto mengadakan pertemuan dengan 9 tokoh yaitu : Gusdur, Emha Ainun Nadjib, Cak Nur, KH Ali Yafie, Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidhowi, Ahmad Bagdja, Ma’ruf Amin, dan Sumarsono, sementara itu Amin Rais kecewa tidak di undang pada pertemuan itu ( Suara Karya, 20 Mei 1998 ), dalam pertemuan tersebut Soeharto mengatakan sudah kapok jadi Presiden. Amin rais menyerukan aksi besar – besaran pada tanggal 20 Mei 1998 tapi yang terjadi aksi besar – besaran tetap di gedung DPR MPR, selanjutnya 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri. Dan lihatlah fakta hingga hari ini “ada berapa orang kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali, tokoh aktifis 98 berada di panggung kekuasaan, setelah 2 kali pemilu ini ?”…

Dari cerita singkat diatas sebenarnya saya mau mengatakan bahwa aksi – aksi yang dilakukan mahasiswa dalam rangka menuntut pengunduran diri Soeharto tidak ada kaitannya dengan elit politik negeri ini yang ada mahasiswa melakukan aksi saat itu, mereka ( tokoh/elit) hanya “ngecap” saja di media cetak maupun di media elektronik untuk popularitas semata, mereka (mahasiswa) bergerak dengan polanya sendiri yang ditunggangi oleh kepentingan rakyat yang di tindas, yang di rampas tanahnya, yang tergusur dari tanah kelahirannya, yang menjadi janda karena suaminya hilang entah kemana setelah protes kenapa kampungnya tenggelam, itulah realitas yang terjadi. Kita juga harus jujur semua lini saat itu terlibat pada proses penjatuhan Soeharto sebagai presiden, kalau seandainya TNI/Polri mau pada saat hari – hari menjelang kejatuhan Soeharto atau jauh sebelumnya, sapu bersih saja setiap ada aksi demonstrasi atau saat pendudukan DPR MPR “di tianamenkan” saja mahasiswa yang ada di sana, tapi itu tidak terjadi, hal ini disebabkan tekanan yang terjadi sudah sangat kuat dan sudah tidak dapat dibendung lagi. Jadi sebenarnya rentang waktu yang terjadi sampai saat ini, sebenarnya di titik – titik kekuasaan masih saja bercokol pada elit – elit yang masih lama berwajah baru, dan sejarah selalu dapat diputar balikkan oleh pemenangnya.

Sesungguhnya bagaimanapun negeri ini sangat aneh, ada lumpur yang tidak selesai – selesai semburannya, ada yang dibunuh tapi pelakunya tidak dapat diusut, ada yang korupsi tidak dapat ditangkap sedangkan yang teroris saja dapat di tangkap, sumber daya alam di”ambil” asing ( mungkin nekolim ) malah di bangga-banggakan, ini memang negeri infotainment….

Sayed Junaidi Rizaldi (Mengenang 10 Tahun Repormasi)

KELUARGA Anugerah Yang Tiada Ternilai