ASSALAMUALAIKUM. WR.WB

Berjuang !
Sebuah tindakan yang kita butuhkan untuk mencapai masyarakat yang lebih baik, mempublikasi diri saya lewat dunia maya ini tak lain tak bukan, agar Dunia tahu apa yang sedang saya lakukan...apa yang saya kerjakan untuk PERUBAHAAN !
Saya butuh dukungan dari sahabat - sahabat yang membaca blog ini dalam rangka meningkatkan aktifitas dan produktifitas saya.
Saya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, saya terlahir dari keluarga yang sederhana..dari ayahnda yang bernama Sayed Abdul Rachman bin Sayed Usman dan ibunda yang bernama Syarifah Rodiah binti Tengku Sayed Umar yang mempunyai jiwa yang luar biasa...saya dilahirkan di Dumai pada hari Khamis, 19 Desember 1974, bintang Sagitarius, Shio Macan.
Saya telah menikah dengan Rr. Setyowati dan mempunyai 2 orang anak, anak pertama Sayed Aqbil Ruhullya Muntazhar , yang kedua Syarifah Risya Dara Saqueena (kelak yang melanjutkan perjuangan Ayahndanya) - SJR-

27 November 2007

Kasus Pembunuhan Munir Tidak Akan Pernah Terungkap


Beberapa waktu yang lalu diputuskan oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga yang katanya sebagai benteng terakhir keadilan di Republik ini, bahwa ternyata Pollycarpus tidak terbukti terlibat pada pembunuhan Munir seorang aktifis yang semasa hidupnya selalu membela kaum yang teraniaya, tapi kesalahan Pollycarpus hanya pengunaan surat palsu, sungguh ironi memang, dan tentu masih terbuka peluang menurut Ketua MA bagi kejaksaan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK), akan tetapi Wakil Jaksa Agung mengatakan harus ada Novum baru untuk melakukan hal itu.

Jakarta, Koran-radar.com

Sejak semula kekuasaan sebenarnya selalu ambiguistas selalu berwajah dua, mempesona satu sisi, menakutkan pada sisi yang lain , hal ini mungkin berlaku pada kasus Munir atau juga pada kasus pembungkaman aktifis yang selalu tidak pernah terungkap, Kasus 27 Juli, Kasus penculikan 1998, kasus Marsinah, Peristiwa Tanjung Priok atau yang sekarang lagi terjadi di Russia pembunuhan wartawan karena terlalu kritis terhadap pelanggaran HAM yang dilakuan penguasa negeri tersebut, di negeri ini juga seperti kasus Udin wartawa harian Bernas Yogyakarta, ternyata Negara kekuasaan menimbulkan rasa takut kepada siapa pun, dia tampil begitu bengis, dan harus dipatuhi segala perintahnya Semakin banyak tidak terungkapnya kasus – kasus yang terjadi diatas, dan makin menguatnya eksistensi Negara sebagai konsekuensi logis melemahnya kekuatan oposisi, karena semua kekuatan yang mempunyai potensi ancaman selalu diakomodasi oleh struktur kekuasaan.


Sejak awal kasus Munir mulai diajukan tuntutan, saya sudah pesimis, hal ini disebabkan pengalaman – pengalaman masa lalu yang berakhir tidak adil bagi setiap pencari keadilan di negeri ini, apalagi menyangkut ada pertarungan elit berkuasa, maupun sipil atau militer yang berperan didalamnya, karena ketika Munir tewas dibunuh dengan cara tragis seperti itu, banyak spekulasi yang terjadi, apakah Munir dibunuh oleh elit kekuasaan masa lalu yang menunggu saat yang tepat untuk “mengeksekusi” Munir, atau ada kompromi antara elit demi sejarah masa lalu yang hitam, seperti kita ketahui Cak Munir melalui KontraS waktu itu yang membongkar peristiwa penculikan yang dilakukan salah satu pasukan elit di Negara Pancasila ini terhadap aktifis yang sangat kritis terhadap kekuasaan, yang sampai sekarang para aktifis tersebut tidak pernah ditemukan, Cak Munir juga melakukan pendampingan terhadap keluarga korban penculikan.

Keterlibatan elit masa lalu atau apapun namanya, sangat dimungkinkan kalau kita melihat proses rangkaian Kasus Munir ini dari awal sampai pada Keputusan MA, karena menurut DR Haryarmoko dalam bukunya Etika Politik Dan Kekerasan, kekerasan yang dilembagakan memakan korban kaum oposan, orang – orang miskin dan tersingkir, kelompok minoritas, mereka yang dianggap musuh oleh Negara, secara sistematis akan menjadi korban kekerasan ini. Kekerasan akan berakibat lebih jauh lagi adalah dibunuh.


Karena dapat ditilik juga pengungkapan Kasus Munir ini luar biasa susahnya, ada mantan Perwira Tinggi TNI yang dipanggil untuk didengar keterangannya seputar kasus tersebut saja susah datangnya, dan Polri tidak dapat melakukan apa – apa, walaupun sudah ada sinyal dari Presiden yang terhormat bahwa kasus ini harus diusut tuntas, ternyata sangat paradoks sekali dengan apa yang terjadi lapangan, bayangkan dalam kasus pegeboman di depan Kedutaan Australia, Cuma dalam hitungan jam saja Polisi sudah tahu kendaraan yang digunakan, plat mobil, pemilik mobil, dan pelaku serta jaringannya, luar biasa prestasi tersebut, tapi ibarat ucapan isteri Cak Munir Suciwati,”saya lelah dengan retorika Presiden. Kemampuan polisi yang menonjol dalam terorisme, mendadak menjadi tumpul dalam mengusut kasus Munir”


Kenyataanya pada Kasus Munir ini semacam ada kabut tipis yang samar – samar kelihatan bayang – bayang para pelaku utamanya, dan seakan – akan dapat ditebak bayang – bayang yang terlihat tersebut tapi sangat susah untuk kita menjamahnya. Dan sekarang tergantung penguasa negeri apakah benar pembunuhan Munir ini memang terlembagakan sebagai kejahatan yang terorganisir dan sistematis, jadi seluruh unit – unit kekuasaan bekerja untuk menutupinya, kalau benar itu terjadi maka Negara Kekuasaan ini telah benar – benar menjadi Leviathan, karena hanya menimbulkan rasa takut yang teramat sangat bagi warganya sendiri dalam upaya melanggengkan kekuasaannya, kalau seandainya tidak, bagaimana kalau Kasus Munir jadikan pelopor dalam rangka mengungkapkan kasus – kasus “pengbungkaman” suara – suara rakyat lainnya. Sehingga Kekuasaan tidak berjalan diatas tulang belulang, darah dan airmata masyarakat yang telah memberikan mandate sebagai legitimasi pada kekuasaan agar dapat melindunginya, tapi jangan salahkan kan rakyat juga suatu saat para penguasa tersebut tidak dipercayai lagi untuk mendapatkan mandat sebagai legitimasi kekuasaan yang syah.


Penulis
Sayed Junaidi Rizaldi
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

AMPIP UI Dideklarasikan

Minggu, 25 Nopember 2007
Jakarta Republika -- Asosiasi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (AMPIP UI) Sabtu (24/11) dideklarasikan di Jakarta. Dalam kesempatan sama, terpilih Marbawi A Katon sebagai ketua untuk periode 2007-2008.

Deklarasi yang berlangsung di Kampus UI, Salemba, ini dihadiri oleh Ketua Program Parscasarjana Ilmu Politik FISIP UI, Julian Aldrin Pasha Phd. Sebanyak 22 mahasiswa (terdiri dari program magister dan doktoral) yang hadir dalam deklarasi tersebut juga ditetapkan sebagai deklarator.

Dalam kesempatan tersebut, Julian menyambut baik lahirnya AMPIP UI sebagai wadah bagi mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI dalam mengembangkan keilmuannya, terutama di bidang ilmu politik.

Acara deklarasi yang disatukan dengan Rapat Umum Mahasiswa (RUM) Pascasarjana Ilmu Politik UI ini, juga telah mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagai pijakan langkah asosiasi. Dalam AD/ART tertulis, selain mahasiswa, para alumni masih boleh menjadi anggota luar biasa namun tak memiliki hak untuk menjadi pengurus.

Pembahasan AD/ART yang dipandu oleh pimpinan sidang, Sayed Junaidi Rizaldi dan M Taufik, sempat berlangsung alot. Namun, semua perbedaan yang muncul akhirnya dapat disepakati dengan bulat. Sedangkan pemilihan ketua yang dipandu oleh Nurul S Hamami berlangsung lancar dan Marbawi terpilih secara aklamasi. Dalam kepengurusan, ketua terpilih sekurang-kurangnya dibantu seorang sekretaris dan seorang bendahara. (nul )

http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=314962&kat_id=375

16 November 2007

Pilkada Jakarta Siap Digelar

Romauli/Bachtiar/Suwarso/Norman Meoko

Jakarta - Selasa 7 Agustus 2007) Komisi Pemilihan Umum (KPUD) Jakarta memastikan distribusi logistik menyangkut Pilkada Jakarta telah rampung. Distribusi logistik penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah DKI telah selesai 100 persen, Selasa (7/8) ini.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Logistik KPUD Jakarta, Dolvi Ngantung, kepada SH, Selasa pagi. Dia menyatakan sebanyak 11.256 tempat pemungutan suara (TPS), termasuk empat lokasi TPS pasangan calon gubernur dipastikan siap digunakan.
“Seluruh logistik pilkada telah kita distribusikan seluruhnya ke kantor KPU Kotamadya. Kotamadya telah mendistribusikan seluruhnya ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat kelurahan. Saya sudah cek semalam, seluruh TPS telah dipersiapkan, termasuk empat TPS bagi pasangan cagub dan cawagub,” jelasnya.
Distribusi logistik pilkada berupa alat-alat perlengkapan seperti surat suara dan tinta dimasukkan dalam kotak suara yang terkunci rapat. Bersamaan dengan itu, bilik suara juga dibagikan, begitu juga dengan berkas-berkas seperti formulir C, yaitu formulir undangan kepada penduduk untuk memilih, formulir C1 untuk para saksi, formulir berita acara salinan daftar pemilih tetap (SDPT), dan alat-alat tulis kantor.
Kartu pemilih yang belum sempat dibagikan kepada warga juga dimasukkan dalam kotak suara.

Menurut Dolvi, kondisi ini terjadi karena kesulitan petugas PPS membagikan kartu pemilih kepada warga yang sedang bekerja. “Banyak warga Jakarta yang belum mendapat kartu pemilih karena saat pembagian bentrok dengan jam kerja.
Namun, hari ini kita upayakan kartu pemilih dapat didistribusikan seluruhnya,” katanya.
Untuk memastikan agar semua distribusi berjalan lancar, rencananya malam ini KPUD akan memantau kembali pembagian Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS) di seluruh TPS, termasuk memantau persiapan di lokasi TPS para pasangan calon gubernur.
Pemungutan suara Pilkada Jakarta akan digelar Rabu (8/8). Calon gubernur Adang Daradjatun mencoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Cipete, Jakarta Selatan. Sementara itu, calon gubenur Fauzi Bowo mencoblos di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Calon wakil gubernur Dani Anwar mencoblos di TPS di Kebun Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Calon wakil gubernur Prijanto melakukan pemungutan suara di TPS Otista, Jakarta Timur.

Kegiatan Pasangan Calon
Sementara itu, calon gubernur Jakarta Fauzi Bowo sepanjang siang ini hanya menggelar acara ramah tamah dengan rekan-rekan media massa di kediaman di Jalan Denpasar Raya Blok C-17 No.48, Kuningan, Jakarta Pusat, dilanjutkan dengan pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat di Ibu Kota di antaranya perwakiulan siswa SD, SMP, SMA, mahasiswa, perwakilan linta agama serta perwakilan pencinta budaya Betawi.
Acara itu ditutup dengan makan siang bersama di Sop “Pak Kumis” di Jalan Kendal, Blora, Menteng, Jakarta Pusat.
Pasangan calon gubernur Adang Daradjatun-Dani Anwar menggelar acara penyerahan penghargaan terhadap sejumlah hasil jepretan foto dan video sejumlah media massa yang meliput pelaksanaan kampanye Adang-Dani, Selasa (7/8), di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta. Hadiah ini sebagai bentuk apresiasi terhadap wartawan, selama mengikuti kegiatan kampanye Adang-Dani.
Pengamatan SH, kesiapan logistik untuk pemungutan suara Pilkada Jakarta terlihat di sejumlah wilayah Jakarta. Di wilayah Jakarta Barat, misalnya, logistik untuk pemungutan suara pilkada 2007 di kawasan tersebut telah didistribusikan secara keseluruhan Selasa (7/8) pag ini hingga ke tingkat PPS (Panitia Pemungutan Suara) di tiap kelurahan.
Menurut Kepala KPU Jakarta Barat Sjahrin Lumbentoruan ketika dihubungi SH, pihaknya telah merampungkan 2.408 TPS yang ada di Jakarta Barat. Selain melangsungkan pemungutan di TPS-TPS umumnya, di Jakarta Barat juga dilakukan pencoblosan di 11 TPS khusus tersebar di 4 kecamatan. Ke-11 TPS tersebut di antaranya 7 TPS khusus di Kecamatan Palmerah, yaitu tahanan Polres Jakarta Barat dan 6 rumah sakit diataranya RS Harapan Kita dan Dharmais.
Sebanyak 1 TPS khusus di wilayah Petamburan, yaitu RS Sumber Waras, 1 TPS khusus di Cengkareng yaitu di RSUD Cengkareng, 2 TPS khusus di Kebon Jeruk yaitu RS Siloam dan Medica Permata Hijau.
Sementara itu, mengenai teknis pelaksanaan pemungutan suara yang akan dilangsungkan di Polres Metro Jakarta Barat, Kapolres Kombes Edward Syah Pernong mengatakan pihaknya telah siap dengan pelaksanaan pemungungutan suara. “Saat pencoblosan berlangsung, pengamanan akan diperketat. Tahanan yang akan menggunakan hak suaranya berjumlah 324 orang dari 8 polsek dan polres,” lanjutnya.
Di wilayah Jakarta Utara, persiapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di wilayah Jakarta Utara sudah mulai marak. Hal itu ditandai dengan didirikannya tempat pemungutan suara (TPS) di 32 kelurahan yang meliputi 6 kecamatan di Jakarta Utara. TPS itu sudah berdiri Senin (6/8) malam.
“TPS yang ada di Jakarta Utara berjumlah 1.824 merupakan TPS biasa. Adapun 24 TPS lainnya dikategorikan khusus yang didirikan di beberapa rumah sakit dan perusahaan-perusahaan swasta yang karyawannya sulit untuk keluar kantor,” ujar Ketua Panwas Pilkada Jakarta Utara Muhammad Ikbal kepada SH Selasa pagi.
Sementara itu, Komunitas Tenabang Bersatu, Senin (6/8), mengamankan enam hingga tujuh warga Tanah Abang disebut-sebut dijanjikan akan menerima sejumlah uang bila mencoblos satu calon gubernur Jakarta pada Pilkada ini. Koordinator Pilkada Watch Jakarta Sayed Junaidi yang dihubungi SH membenarkan temuan tersebut. Sejumlah warga yang tersebar di Tanah Abang diiming-imingi sejumlah uang apabila terbukti telah mencoblos pasangan calon gubernur tertentu.
Dia menambahkan terdapat empat modus sebagai bukti telah melakukan pencoblosan. Salah satunya stiker yang sengaja dibagi-bagikan kepada warga yang berjanji akan memilih pasangan calon gubernur tertentu.
“Stiker ini sifatnya seperti voucher. Setelah memilih dapat menukar stiker tersebut dengan uang,” kata Sayed. n (Sinar Harapan)

14 November 2007

Pilkada Wacth : Hasil Survei Untuk menggiring Opini

Senin 6 Agustus 2007

Ketua lembaga pemantau Pilkada Watch, Sayed Junaedi Rizaldi menilai hasil survei yang diluncurkan dua Lembaga Survei Indonesia milik Syaiful Mudjani dan Lingkaran Survei Indonesia pimpinan Denny JA yang mengunggulkan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dinilai telah menciderai proses demokrasi pilkada DKI Jakarta.

“Survei itu sepertinya sengaja digelar untuk menggiring publik untuk memilih calon yang diunggulkannya dalam survei tersebut. Operasi pemenangan seperti ini memang sering dimainkan oleh Denny JA di setiap wilayah yang menggelar pilkada,” ujar Sayed kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Lebih lanjut, dia menilai kans kedua pasangan yang bertarung dalam ajang pilkada itu masih fifty-fifty alias berimbang hal itu dilihat dari sepak terjang pada masa kampanye.

Selain hasil survei itu, kasus yang juga bisa menciderai pilkada adalah kasus pemberhentian mendadak Ketua Panwasda, Suhartono.

“Dengan adanya kasus itu jadinya masyarakat banyak yang menilai pilkada ini seperti dagelan semata. Tidak ada kesungguhan bagi KPUD sebagai penyelenggara dan DPRD DKI Jakarta yang terkesan ditunggangi oleh kepentingan salah satu calon. Kami tidak mau pilkada ini terciderai oleh hal yang tidak beradab,” katanya.

Pencopotan Panwasda pada H-4 ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kecurangan dalam pilkada.

Tengok saja, baru beberapa hari pencopotan Panwasda, sudah nampak indikasi kecurangan dengan munculnya surat edaran KPUD No 07 Pasal 25, yang membolehkan para pemilih mencoblos di mana saja dengan hanya menunjukkan kartu pemilih dan undangan pemilih, tanpa menunjukkan KTP.

“Dengan begitu suara orang yang sudah meninggal tapi memiliki hak pilih karena adanya kekeliruaan saat pendataan kemarin, bisa dimanfaatkan oleh calon-calon yang ingin memenangkan pilkada ini. Terakhir yang saya ketahui jumlah suara siluman itu mencapai 2.000 sampai 3.000 lebih,” katanya.RM (Rakyat Merdeka)

Pilkada Jakarta: Sudah Demokratis?

http://www.rsi.sg/indonesian/wacanaindonesia/view/20070813173700/1/.html

Wawancara RSI (Radio Singapura International)

August 13, 2007

Saudara, Pilkada Jakarta pada 8 Agustus lalu berlangsung dengan tertib dan aman. Antusiasme warga terlihat jelas, memenuhi lebih dari 11 ribu Tempat Pemungutan Suara atau TPS yang tersebar di 6 wilayah kota Jakarta. Tampaknya warga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memilih sendiri pemimpinnya ini, dan tentunya berharap agar calon pemimpinannya nanti bisa memperbaiki kondisi Jakarta, sesuai janji-janji yang diucapkan para calon dalam kampanye mereka. Inilah yang dikatakan perwujudan dari demokrasi. Rakyat yang memiliki kuasa memilih pemimpinannya, oleh karena itu, seyogianya lah, pemimpin yang terpilih nanti bertanggungjawab kepada rakyat yang telah memberikan mandate kepadanya.

Hadar Navis Gumay, Direktur Eksekutif CETRO atau Centre for Electoral Reform, mengatakan, dari proses pelaksanaan Pilkada Jakarta kemarin, dinilainya sudah cukup baik, walaupun ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan.

Pertama terkait dengan proses pencalonan dalam pemilihan kepala daerah di undang-undang kita, dimana di DKI dilakukan sebelum mahkamah konstitusi mengambil keputusan tentang calon perseorangan, maka pencalonan harus dilakukan lewat partai politik atau gabungan partai politik, sehingga di DKI pilkada hanya punya 2 pasangan calon, sesungguhnya itu bisa lebih dan ini akan menjadi positif bagi pemilih sendiri. Tetapi itu yang terjadi, sehingga pmeilih di ibukota Jakarta in imenjadi sangat terbatas, akan siapa2 atau alternative pilihan siapa yang menjadi kepala daerahnya. Itu yang pertama.

Yang kedua, Hadar Gumay menggarisbawahi sejumlah ketidakrapian pendataan, yang menyebabkan banyak pemilih yang tidak mendapat kartu pemilih, atau pun tidak terdaftar sebagai pemilih. Hal ini lah yang banyak dikeluhkan warga, terutama mereka yang sebenarnya punya hak dan ingin memilih, tapi sayang, hanya karena masalah administrasi, haknya dipangkas.

Pandangan lain dikemukakan oleh Sayid Junaidi Rizaldi, ketua lembaga pengawas independent, Pilkada Watch. Ia lebih menekankan persoalan etika berdemokrasi baik dari panitia pemilihan maupun dari tim sukses kedua pasangan calon.

Kita melihat banyak aturan2 yang disepakati untuk pelaksanaan pilkada, banyak dilanggar oleh pasangan calon. tapi hal ini ternyata tidak ditanggapi secara signifikan oleh panitia pengawas pemilihan maupun KPUD sebagai penyelenggara pilkada. kita lihat lagi pada masa tenang misalnya, masih banyak terjadi black campaign atau kampanye di luar jadwal. Bahkan puncaknya adalah pencopotan ketua panwas di H-4 , hari pencoblosan, sehingga ini mengundang tanda Tanya besar apakah ini bagian dari scenario politik untuk membuat pilkada ini menjadi tidak fair lagi.

Sayed Junaidi Rizaldi menambahkan, persoalan etika berdemokrasi ini akan besar dampaknya, jika daerah-daerah lain di Indonesia akhirnya mencontoh apa yang terjadi di Jakarta. Ketidaksiapan Panitia Pemilihan yang dikatakan Sayed Junaidi Rizaldi ini- membuat Pilkada tersebut terkesan hanya untuk memenuhi keinginan sekelompok orang yang ingin berkuasa saja, namun tidak memenuhi aspirasi masyarakat.

Karena begini, seperti yang terjadi di negara2 berkembang lain, kalau parameter yang berkuasa itu terjadi Cuma ada pencoblosan dan dia menang, Cuma itu parameternya, maka kekuasaan yang dibangun itu saya pikir legitimasi nya tidak kuat.

Sayed Junaidi Rizaldi, ketua lembaga pengawas indenpenden Pilkada Watch.

+++

Saudara, untuk lebih menggalakkan warga agar menggunakan hak pilihnya, pemda ibukota Jakarta sampai menetapkan hari rabu 8 Agustus lalu sebagai hari libur nasional. Ini dimaksudkan, agar warga memiliki banyak waktu untuk datang ke TPS terdekat untuk mencoblos. Kampanye tentang kerugian golput atau golongan putih juga ditingkatkan dari jauh-jauh hari. Namun ternyata, jumlah mereka yang menggunakan hak pilihnya, dikatakan hanya berkisar di angka 60%. Dari catatan Centre for Electoral Reform atau CETRO, misalnya, angka parsitipasi masyarakat sekitar 63.9%. Angka ini dikatakan Hadar N Gumay, direktur eksekutif CETRO lumayan dibandingkan dengan beberapa kota besar di Indonesia yang telah melakukan pilkada selama ini, seperti Medan, Yogyakarta atau Surabaya, misalnya. Namun ternyata dari total 300 pilkada yang sudah berlangsung di Indonesia, angka ini sebetulnya lebih rendah, karena biasanya, partisipasi masyarakat dalam pilkada rata-rata mencapai 69%.

Hadar N Gumay.

Ini sebetulnya juga harus menjadi catatan buat kita, apalagi kita ketahui pilkada yang sudah ke-300an ini terjadi di Jakarta tetapi partisipasinya juga masih menurun itu yang pertama. Dibandingkan apa yang terjadi di Jakarta selama ini pun, dibandingkan dengan Pemilu 2004, pemilu legislative angkanya 73%. Pemilu pemilihan presiden putaran 1 angkanya 75% pemilu putaran ke 2 angkanya 73%, nah sekarang pemilu gubernur angkanya 64%, jadi ini juga satu jumlah yang tendensinya terus menurun, jadi ini yang harus menjadi perhatian kita ke depan.

Itulah sebabnya, meski antusiasme masyarakat terlihat sangat tinggi, namun menurut Hadar N Gumay, ke depan, harus diupayakan kerja yang lebih keras, agar partisipasi masyarakat ini angkanya meningkat. Karena politik atau pemilu yang tidak didukung oleh masyarakat, akan menjadi masalah.

Sedangkan menurut Sayid Junaidi Rizaldi dari Pilkada Watch mengatakan, antusiasme masyarakat Jakarta yang tinggi ini, memang fenomena yang biasa terjadi di negara dunia ketiga, dimana masyarakat nya merasa harus punya harapan kepada pemimpin untuk memperbaiki nasib mereka.

Jadi masyarakat itu berharap banyak. Mereka punya hak untuk memilih pemimpin mereka, dan berharap banyak pemimpin itu bisa memperbaiki nasib mereka, hidup mereka, anak2 mereka bisa memperoleh pendidikan lebih layak, kesulitan2 ekonomi mereka bisa terjawab, jadi harapan2 ini lah yang mereka punya. Tapi kenyataannya hanya bisa diwujudkan dengan pemimpin yang dipilih oleh mereka sehingga bisa mendapat legitimasi dari mereka.

Sayid Junaidi Rizaldi dari Pilkada Watch.

+++

Saudara, Pilkada Jakarta 2007 ini juga dipandang penting, karena sejumlah pengamat mengatakan, konstelasi politik yang terjadi antara dua calon akan menjadi barometer bagi Pemilu Presiden yang akan berlangsung pada 2009 nanti di Indonesia. Ajang ini, dikatakan sebagai test-case bagi sejumlah partai politik untuk menentukan strategi dalam Pemilu Presiden 2009. Benarkah demikian? Hadar N Gumay, direktur eksekutif CETRO, mengatakan, tidak yakin akan pandangan tersebut.

Menurut saya, saya tidak yakin amat itu, karena pilkada2 ini dan juga banyak pilkada lainnya sangat jangka pendek sifatnya, sehingga koalisi2 itu sangat bervariasi. Disini kebetulan saja, mereka bergerombol menghadapi satu partai yang berkuasa di Jakarta yaknii PKS, tapi di tempat lain mereka justru berkawan dan melawan yang lain juga. Jadi saya tidak terlalu optimis dengan perkembangan ini, karena selalu perhitungan nya adalah perhitungan yang pragmatis. 2009 memang tidak terlalu lama lagi, tapi itu masih satu tahunan lebih yang sebenarnya jangka yang panjang, untuk mengubah persekutuan2 yang sifatnya sangat praktis . Jadi saya tidak terlalu optimis amat, bahwa ini akan merupakan gambaran yang sesederhana itu.

Hadar N Gumay, direktur eksekutif, Centre for Electoral Reform, CETRO.

+++

Saudara, meski KPUD baru akan mengumumkan secara resmi siapa yang memenangkan Pilkada Jakarta pada 18 Agustus nanti, tapi dari hasil quick count yang diselenggarakan pelbagai lembaga independent pemilihan menunjukkan pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto unggul dari pasangan Adang Darajatun dan Dani Anwar. Bisakah pasangan ini menepati janji-janji yang telah diucapkan pada saat kampanye, dan memenuhi harapan warga Jakarta yang menginginkan perbaikan hidup dan masa depan Jakarta?.
Kita lihat saja nanti.

Sekian Wacana Indonesia, saya Fika Rosemary dari Jakarta mengucapkan terimakasih atas perhatian anda, sampai jumpa.
(efika @ mediacorp.com.sg)

Kasus Pembunuhan Munir Tidak Terungkap

Kasus Pembunuhan Munir Tidak Akan Pernah Terungkap


Beberapa waktu yang lalu diputuskan oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga yang katanya sebagai benteng terakhir keadilan di Republik ini, bahwa ternyata Pollycarpus tidak terbukti terlibat pada pembunuhan Munir seorang aktifis yang semasa hidupnya selalu membela kaum yang teraniaya, tapi kesalahan Pollycarpus hanya pengunaan surat palsu, sungguh ironi memang, dan tentu masih terbuka peluang menurut Ketua MA bagi kejaksaan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK), akan tetapi Wakil Jaksa Agung mengatakan harus ada Novum baru untuk melakukan hal itu.

Jakarta, Koran-radar.com

Sejak semula kekuasaan sebenarnya selalu ambiguistas selalu berwajah dua, mempesona satu sisi, menakutkan pada sisi yang lain , hal ini mungkin berlaku pada kasus Munir atau juga pada kasus pembungkaman aktifis yang selalu tidak pernah terungkap, Kasus 27 Juli, Kasus penculikan 1998, kasus Marsinah, Peristiwa Tanjung Priok atau yang sekarang lagi terjadi di Russia pembunuhan wartawan karena terlalu kritis terhadap pelanggaran HAM yang dilakuan penguasa negeri tersebut, di negeri ini juga seperti kasus Udin wartawa harian Bernas Yogyakarta, ternyata Negara kekuasaan menimbulkan rasa takut kepada siapa pun, dia tampil begitu bengis, dan harus dipatuhi segala perintahnya Semakin banyak tidak terungkapnya kasus – kasus yang terjadi diatas, dan makin menguatnya eksistensi Negara sebagai konsekuensi logis melemahnya kekuatan oposisi, karena semua kekuatan yang mempunyai potensi ancaman selalu diakomodasi oleh struktur kekuasaan.


Sejak awal kasus Munir mulai diajukan tuntutan, saya sudah pesimis, hal ini disebabkan pengalaman – pengalaman masa lalu yang berakhir tidak adil bagi setiap pencari keadilan di negeri ini, apalagi menyangkut ada pertarungan elit berkuasa, maupun sipil atau militer yang berperan didalamnya, karena ketika Munir tewas dibunuh dengan cara tragis seperti itu, banyak spekulasi yang terjadi, apakah Munir dibunuh oleh elit kekuasaan masa lalu yang menunggu saat yang tepat untuk “mengeksekusi” Munir, atau ada kompromi antara elit demi sejarah masa lalu yang hitam, seperti kita ketahui Cak Munir melalui KontraS waktu itu yang membongkar peristiwa penculikan yang dilakukan salah satu pasukan elit di Negara Pancasila ini terhadap aktifis yang sangat kritis terhadap kekuasaan, yang sampai sekarang para aktifis tersebut tidak pernah ditemukan, Cak Munir juga melakukan pendampingan terhadap keluarga korban penculikan.

Keterlibatan elit masa lalu atau apapun namanya, sangat dimungkinkan kalau kita melihat proses rangkaian Kasus Munir ini dari awal sampai pada Keputusan MA, karena menurut DR Haryarmoko dalam bukunya Etika Politik Dan Kekerasan, kekerasan yang dilembagakan memakan korban kaum oposan, orang – orang miskin dan tersingkir, kelompok minoritas, mereka yang dianggap musuh oleh Negara, secara sistematis akan menjadi korban kekerasan ini. Kekerasan akan berakibat lebih jauh lagi adalah dibunuh.


Karena dapat ditilik juga pengungkapan Kasus Munir ini luar biasa susahnya, ada mantan Perwira Tinggi TNI yang dipanggil untuk didengar keterangannya seputar kasus tersebut saja susah datangnya, dan Polri tidak dapat melakukan apa – apa, walaupun sudah ada sinyal dari Presiden yang terhormat bahwa kasus ini harus diusut tuntas, ternyata sangat paradoks sekali dengan apa yang terjadi lapangan, bayangkan dalam kasus pegeboman di depan Kedutaan Australia, Cuma dalam hitungan jam saja Polisi sudah tahu kendaraan yang digunakan, plat mobil, pemilik mobil, dan pelaku serta jaringannya, luar biasa prestasi tersebut, tapi ibarat ucapan isteri Cak Munir Suciwati,”saya lelah dengan retorika Presiden. Kemampuan polisi yang menonjol dalam terorisme, mendadak menjadi tumpul dalam mengusut kasus Munir”


Kenyataanya pada Kasus Munir ini semacam ada kabut tipis yang samar – samar kelihatan bayang – bayang para pelaku utamanya, dan seakan – akan dapat ditebak bayang – bayang yang terlihat tersebut tapi sangat susah untuk kita menjamahnya. Dan sekarang tergantung penguasa negeri apakah benar pembunuhan Munir ini memang terlembagakan sebagai kejahatan yang terorganisir dan sistematis, jadi seluruh unit – unit kekuasaan bekerja untuk menutupinya, kalau benar itu terjadi maka Negara Kekuasaan ini telah benar – benar menjadi Leviathan, karena hanya menimbulkan rasa takut yang teramat sangat bagi warganya sendiri dalam upaya melanggengkan kekuasaannya, kalau seandainya tidak, bagaimana kalau Kasus Munir jadikan pelopor dalam rangka mengungkapkan kasus – kasus “pengbungkaman” suara – suara rakyat lainnya. Sehingga Kekuasaan tidak berjalan diatas tulang belulang, darah dan airmata masyarakat yang telah memberikan mandate sebagai legitimasi pada kekuasaan agar dapat melindunginya, tapi jangan salahkan kan rakyat juga suatu saat para penguasa tersebut tidak dipercayai lagi untuk mendapatkan mandat sebagai legitimasi kekuasaan yang syah.


Penulis
Sayed Junaidi Rizaldi
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Koalisi Pengacara somasi KPUD Jakarta

Senin, 16/07/2007 - oleh : Djony Edward

JAKARTA (Bisnis): Sebanyak 25 pengacara yang tergabung dalam Koalisi Pengacara Untuk Rakyat Jakarta atas nama kliennya Sayed Junaidi Rizaldi sebagai koordinator Pilkada Watch, mensomasi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta.

"Bila KPUD dalam jangka waktu tiga hari tidak memenuhi tuntutan ini, maka kami akan melakukan upaya hukum baik secara pidana, perdata maupun Tata Usaha Negara," demikian dinyatakan Zainudin Paru sebagai koordinator Koalisi Pengacara Untuk Rakyat Jakarta dalam siaran persnya.

Paling tidak ada lima tuntutan yang diajukan koalisi ini. Pertama, Pilkada Watch mendapat banyak pengaduan dari masyarakat Jakarta yang memiliki hak sebagai pemilih pada Pilkada DKI Jakarta 2007, namun tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan KPUD DKI Jakarta.

Kedua, dari pemantauan dan pengawasan Pilkada Watch, KPUD DKI Jakarta sebagai penyelenggara Pilkada, tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ini terbukti dengan masih banyak pemilih yang tidak terdaftar, pemilih yang masih memiliki nama ganda, nama yang terdaftar namun tidak ada orangnya (ghost vooters), dan tidak diumumkannya Daftar Pemilih Sementara (DPS), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan DPT serta tidak diberikannya bukti pendaftaran kepada pemilih di sebagian tempat.

Ketiga, akibat tidak bekerjanya KPUD DKI Jakarta sebagaimana mestinya, banyak masyarakat yang dirugikan karena kehilangan hak pilihnya dan membuka peluang terjadinya kecurangan pada saat pemungutan suara dengan banyaknya pemilih ganda dan ghost vooters.

Keempat, karena itu Pilkada DKI Jakarta merupakan Pilkada yang cacat dan telah mengabaikan nilai-nilai transparansi, kejujuran, dan keadilan serta tidak demokratis.

Kelima, karena itu Koalisi Pengacara Untuk Rakyat Jakarta mensomasi KPUD DKI Jakarta untuk memenuhi hak-hak pemilih Pilkada DKI Jakarta dengan melakukan dua kegiatan besar.

"Audit data pemilih yang terdaftar dalam DPT guna menghapus semua nama-nama pemilih ganda dan ghost vooters, dan terbitkan SK yang membolehkan pemilih yang belum terdaftar dapat memilih hanya dengan berdasarkan kepemilikan KTP DKI Jakarta disertai keterangan domisili dari pengurus RT," tegasnya.( bisnis.com)

4JJI Maha Tahu

Selasa, 07 Agustus 2007 – Rakyat Merdeka

JKARTA -- Ketua Panwas DKI Jakarta, Suhartono, merasa ada kejanggalan dalam pencopotan dirinya. Karena itu, saat menerima surat keputusan pimpinan DPRD atas pemberhentiannya, Suhartono langsung akan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). ''Saya akan mem-PTUN-kan surat keputusan itu,'' ujar Suhartono, Ahad (5/8). Tidak cuma itu, Suhartono berencana meminta uji materi surat keputusan DPRD ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) serta melaporkan pencemaran nama baiknya ke polisi.

Uji materi diperlukan karena keputusan DPRD dianggap bertentangan dengan revisi surat edaran (SE) Menpan No 8 Tahun 2005 yang diterbitkan 2 Mei 2005. SE tersebut menyatakan PNS dapat menjadi anggota Panwas seizin pejabat pembina kepegawaian atau atasan langsung.

Kemarin siang kepada wartawan, Suhartono memperlihatkan surat izin cuti besar dari Kepala Biro Keanggotaan dan Kepegawaian Sekjen DPR RI, Rusmianingsih. Suhartono yang tercatat memiliki NIP 210001833 dengan jabatan peneliti muda bidang pengkajian di DPR juga mencantumkan status PNS-nya dalam surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) bernomor B/SKCK/4765/V/2007/Sat Intelkam. SKCK merupakan salah satu syarat administratif yang diminta Pansus Pembentukan Panwas DPRD DKI Jakarta dalam proses awal penjaringan anggota Panwas.

Hingga kemarin sore, Suhartono belum menerima surat keputusan pencopotan dirinya. Kalangan pemantau pilkada DKI juga menyesalkan pencopotan Suhartono, ketika pencoblosan tinggal hitungan hari. Pencopotan Suhartono dinilai tak punya dasar yang kuat. ''Atas dasar apa? Kenapa H-4 baru dicopot? Padahal sudah bekerja dan memimpin rapat selama dua bulan,'' kata Aldin Situmeang dari Seven Strategic Studies, salah satu dari 19 lembaga pemantau resmi pilkada DKI, Ahad (5/8).

Hal senada diungkapkan Koordinator Pilkada Watch, Sayed Junaidi Rizaldi. Menurut Sayed, saat ini adalah titik kritis karena pilkada tinggal beberapa hari. Pencopotan ketua panwas sama saja menghancurkan tatanan pilkada. ''Ini bukan masalah Suhartono atau bukan. Tapi sistem yang sudah dibangun kita hancurkan. Ada invisible hand dalam pilkada dan puncaknya pemecatan Suhartono,'' kata Sayed.

Pengganti Suhartono
Anggota Panwas Kodya Jaksel, Martaferry, mengaku telah dihubungi Humas DPRD DKI Jakarta, Rubingan, Jumat (3/8). ''Saya ditelepon dibilang akan menggantikan posisi Suhartono,'' katanya. Rencananya hari ini (Senin, 6/8) Martaferry akan dilantik sebagai Ketua Panwas DKI Jakarta pada pukul 11.00 WIB di ruang pimpinan dewan.

Namun, rencana itu berubah kemarin pagi. Rubingan menghubungi Martaferry untuk mengatakan yang akan ditunjuk menggantikan Suhartono adalah anggota Panwas Kec Mampang, Mukti Ali. Rubingan ketika dihubungi mengaku tidak tahu menahu mengenai alasan semua penggantian tersebut. Wakil Ketua Pansus Panwas DPRD DKI Jakarta, Ahmad Suaedy, pun mengaku tidak mengetahui dasar pencopotan Suhartono. Keputusan mencopot Suhartono dibuat dalam rapat pleno pada Kamis malam (2/8). ''Saya tidak hadir dalam pleno itu,'' katanya.

Suaedy menjelaskan, Komisi A DPRD sempat menggelar hearing pada Rabu (1/8). Suaedy yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi A mengatakan hasil hearing itu dijadikan rekomendasi ke pimpinan dewan. Dia menambahkan dalam pemeriksaan berkas, Pansus menyerahkan proses verifikasinya pada Pusat Kajian Politik UI. ''Yang memeriksa mereka, jadi saya tidak tahu kenapa bisa begitu,'' katanya. n ind/rto

Sutiyoso Dipanggil Panwas

senin, 16 Juli 2007 - Rakyat Merdeka

Terkait Dugaan kampanye Untuk Salah Satu Cagub

Panwas Pilkada DKI Jakarta akan memanggil Gubernur Sutiyoso jika terbukti ikut berkampanye mendukung salah satu cagub DKI.

“TERKAIT laporan itu, kita akan segera menggelar rapat pleno untuk mempelajari duduk persoalannya,” kata Ketua Panwas DKI Soehartono saat dihubungi Rakyat Merdeka, di Jakarta, Sabtu (15/7).

Seperti diberitakan, LIMA melaporkan dugaan adanya dukungan Sutiyoso kepada sa­lah satu cagub DKI. LIMA me­nye­rahkan bukti-bukti berupa VCD kepada Panwas Pilkada DKI beberapa waktu lalu.

“Rencananya, Senin (15/07) baru bisa kita rapatkan. Karena laporan itu masuk hari Jumat, sedangkan Sabtu dan Minggu ki­ta libur,” jelas Soehartono.

Ia mengungkapkan, rapat tersebut akan dihadiri oleh se­luruh anggota Panwas Pro­vinsi, namun belum dipastikan apa­kah akan memanggil Suti­yo­so atau tidak untuk meng­kla­ri­fikasi tuduhan tersebut. Na­mun, jika hasil kajian itu, ter­nyata ada bukti keterlibatan, Pan­was tak segan-segan akan me­manggil Bang Yos.

“Dalam rapat itu akan kita bahas bersama. Keputusannya akan keluar maksimal dalam tujuh hari kerja,” tambah Soehartono.

Dia mengingatkan, bagi pejabat negara ataupun pegawai negeri yang terlibat dalam kampanye pasangan cagub DKI Jakarta akan dijerat sanksi pidana. “Ancamannya minimal 1 bulan dan maksimal 6 bulan penjara,” tegasnya.

Seperti diketahui, lembaga pemantau Independen Lingkar Madani Indonesia (Lima) Jakarta melaporkan dugaan kampanye terselubung yang melibatkan Sutiyoso. Dalam laporannya itu, LIMA menduga Bang Yos mendukung cagub tertentu dalam sebuah acara deklarasi di Jakarta, 8 Juli lalu.

Sementara itu, koordinator Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi meminta tim sukses pa­sangan cagub-cawagub mewas­pa­dai aksi provokator di acara kampanye pawai bersama.

“Arak-arakan dua pendukung cagub bisa menimbulkan bentro­kan di lapangan. Karena itu su­paya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kedua tim suk­ses harus menyiapkan sejak dini langkah-langkah agar kam­panye bersama berlang­sung ter­tib dan aman,” katanya ke­pada Rak­yat Merdeka, ke­marin.

Dia menjelaskan, dalam acara yang melibatkan massa, ter­ka­dang masalah kecil di lapangan bi­sa menimbulkan konflik. Sa­yed menyarankan, sebelum pelaksanaan pawai bersama, kedua tim sukses sebaiknya bertemu membahas pelaksana­an teknis di lapangan.

Seperti diketahui, pada 23 Juli mendatang KPU DKI akan menggelar pawai bersama pasangan cagub-cawagub DKI. Berkaitan dengan itu, kedua tim sukses itu sudah mengklaim akan mem­ba­wa massa pen­du­kung­nya masing-masing.

Sementara itu, Walikota Ja­karta Utara Effendi Anas mengungkapkan, ada lima titik rawan kon­flik di wilayahnya yaitu Ke­lu­rahan Tugu Utara, Sukapura, Warakas, Papanggo, dan Sungai Bambu.

Ia meminta aparat kepolisian untuk menjaga dan mengawasi lima wilayah itu. “Belajar dari pemilu 2004, lima wilayah itu pernah terjadi gejolak politik yang hampir mengarah keri­bu­tan antar pendukung parpol,” ungkapnya. rm

Pilkada DKI : KPUD Dilaporkaan ke Polda Metro Jaya

Sabtu, 30/06/2007 Lisa Antasari - Okezone

JAKARTA – Posisi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta yang tidak kooperatif terhadap laporan temuan kecurangan pada data pemilih Pilkakada DKI, berujung di kantor polisi. Pilkada Watch (PW) sebagai lembaga pemantau Pilkada DKI, akhirnya melaporkan KPUD ke Polda Metro Jaya.

Laporan tersebut langsung disampaikan Koordinator Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi yang diterima Pelayanan Masyarakat (Yanmas) Polda Metro Jaya di Mapolda, Sabtu (30/6/2007).

Sayed menjelaskan, dalam temuan tersebut terdapat sejumlah indikasi kecurangan diantaranya banyak nama calon pemilih dengan alamat sama. Selain itu, ada juga daftar orang yang sudah meninggal namun tercantum sebagai pemilih.

“Kami juga mendapati duplikasi tanggal lahir dan domisili tempat yang tidak jelas. Intinya banyak pemilih gelap,” kata Sayed usai membuat laporan.

Dia melanjutkan, Pilkada Watch mengharapkan agar KPUD memperpanjang pendaftaran, legowo menerima kritikan, mengakui kesalahan dan meminta maaf. Sebenarnya, Pilkada Watch tidak bermaksud melaporkan KPUD ke polisi bila bersikap jujur dan transparan.

“Perpanjang pendaftaran, paling tidak selama dua pekan ke depan untuk mendata ulang. Bila tidak mampu, minta bantuan kepada jaringan kampus. Namun, lembaga KPUD terkesan menutup diri dengan dijaga aparat kepolisian,” imbuhnya.

Temuan Pilkada Watch yang bekerja sama dengan lembaga independen non pemerintah seperti LP3S dan Pusat kajian Politik UI lainnya seperti data pemilih Dimro dan berakhiran H (Dimroh - red), namun alamatnya sama. (fmh)

Selebaran Mengarah SARA

Selasa 7 Agustus 2007, Jam: 9:10:0

JAKARTA (Pos Kota) – Di masa tenang setelah berakhirnya masa kampanye, Pilkada Watch menemukan selebaran pamflet sebagai black campaign (kampanye hitam) terhadap calon gubernur Fauzi Bowo dan Adang Daradjatun.

Menurut Koordinator Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi, black campaign itu mengarah kepada SARA. “Sebab itu, kami menghimbau kepada masyarakat untuk tidak mempercayai selebaran pamflet tersebut,” kata Sayed, di Jakarta, Senin (6/8).

Sayed mengharapkan masyarakat tetap tenang dan mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk memberikan hak pilihnya, tentu pilihannya sesuai dengan hati nurani. “Kalau para calon itu memberikan iming-iming maka terimalah iming-iming itu, tapi dalam menentukan pilihan tetap sesuai dengan hati nurani,” kata dia.

Dijelaskannya, memang pamflet-pamflet tersebut dengan tujuan mau mengadu-domba di antara kedua pendukung Fauzi dan Adang. “Namun saya kira masyarakat kita sudah dewasa sehingga tidak akan terpancing dengan selebaran tersebut,” jelasnya.

DITINDAK TEGAS
Tim advokasi Foke, Zamahk Sari,SH,MH, mengaku hingga Senin (6/8)sudah menemukan belasan pelanggaran dari soal tulisan-tulisan yang bersifat melecehkan hingga kasus pemalsuan kartu pengenal dukungan salah satu cagub dan cawagub. “Untuk itu para pelanggar ini harus ditindak tegas sesuai aturan hukum yang ada, “ katanya.

Menurut Direktur LBH Forkabi ini, bila masalah pelanggaran kampanye yang bersifat penghinaan yang dapat menimbulkan konflik atau sara, tindak segera diberikan sangsi, dapat menimbulkan bentrok antarpendukung. “Saya sungguh prihatin terhadap pelanggaran seperti ini,” ucap wakil Sekjen DPP Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) ini.

Untuk itu Panwasda diminta intres terhadap masalah ini dan segera mengambil tindakan hukum. Pelanggaran- perlanggaran kampanye baik melalui tulisan maupun visual secara hukum bisa dijerat dengan pasal 78 ayat 2 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terkait pelaksanaan Pilkada dan pasal 23 ayat 1 b Peraturan KPU Propinsi DKI Jakarta No 6 tahun 2007 tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum.
] (johara/wicaksono)

Pilkada Watch Temukan Kejanggalan DPT

Monday, 2 July 2007
JAKARTA, Investor Daily (http://www.e-bursa.com/)
Lembaga pengawas untuk Pilkada DKI, Pilkada Watch (PW), melaporkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta yang diduga tidak transparan, setelah pihaknya menemukan beberapa kejanggalan pada Data Pemilih Tetap (DPT) Pilkakada, ke Yanmas Polda Metro Jaya.

"Kami menemukan beberapa indikasi kecurangan pada DPT," ujar Koordinator PW Sayed Junaidi Rizaldi kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya pada Sabtu (30/6).

Sayed memaparkan, beberapa indikasi tersebut adalah adanya nama calon dengan alamat domisili yang sama, duplikasi tanggal lahir dan domisili tempat dari pemilih yang tidak jelas. Bahkan, ada beberapa nama yang sudah meninggal namun masih tercantum sebagai pemilih. "Intinya banyak pemilih gelap,” kata Sayed menyimpulkkan.

Sementara itu, KPUD DKI Jakarta juga berencana melaporkan kasus perampasan DPT yang melibatkan anggota PKS ke Polda Metro Jaya. “Kalau mau dibuka, sebenarnya mereka menginginkan data DPT yang disimpan di dalam komputer PPS (Panitia Pemungutan Suara, red) kelurahan,” kata anggota KPU DKI Jakarta Muflizar kepada Investor Daily di Jakarta, Sabtu.

Muflizar khawatir, kasus itu akan berkembang di tempat lainnya. Dia pun menyontohkan aksi perampasan DPT di Kelurahan Bungur, Kebon Sirih, Karet Tengsin, Kayu Putih, dan Kedoya Utara.

Di tempat terpisah, DPW PKS DKI Jakarta membantahnya dan meminta anggota KPU DKI Jakarta Muflizar menarik ucapannya. Menurut Humas DPW PKS DKI Jakarta Dedi Supriyadi, tidak ada kadernya yang mencuri DPT di Pancoran. Apalagi, ditangkap petugas.

Menanggapi hal itu, Panitia Pengawas Pilkada (Panwasda) Jakarta akan menyelidiki kasus perampasan DPT pada Senin (2/7). Rencananya, Panwasda akan memanggil petugas PPS dan kader PKS yang dituduh terlibat.

Jumlah Pemilih

Meskipun masih kontroversi, KPU DKI Jakarta telah mengesahkan dan mengumumkan DPT Pilkada Jakarta. Dalam DPT tersebut, total pemilih Pilkada Jakarta 2007 mencapai 5.725.767. Komposisinya 2.893.255 merupakan pemilih laki-laki, sedangkan sisanya 2.832.512 adalah pemilih perempuan.

Para pemilih tersebut tersebar di 11.202 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jumlah TPS itu termasuk TPS khusus dan TPS keliling. TPS khusus dan keliling adalah TPS untuk pemilih yang berada di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, dan tempat-tempat terpencil. Data itu disampaikan Sabtu malam oleh Ketua KPUD Juri Ardiantoro. (jau/c113)

Pilkada DKI Jakarta Masih Banyak Pelanggaran

Sumber : Harian Rakyat Merdeka(Kamis, 09 Agustus 2007)

Hasil Pengamatan Lembaga Pemantau Saat Pencoblosan

Meski Pilkada DKI berjalan aman dan lancar, namun lembaga pemantau melihat masih banyak pelanggaran saat pencoblosan.

KOORDINATOR Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi mengaku menemukan banyak pelanggaran pada saat pencob­losan Pilkada DKI, kemarin. Pe­langgaran paling banyak ter­jadi disebabkan kekacauan data pemilih.

“Ada ghost voters yang ikut men­coblos di beberapa TPS,” ka­ta Sayed di Jakarta, kemarin.

Dia mencontohkan, di TPS 14 Kelurahan Kebon Melati, Ta­nah Abang, Jakarta Pusat, 23 orang yang tidak terdaftar da­lam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ternyata bisa ikut men­coblos.

Ada pula di TPS 03 Setia Budi, Jaksel, seorang pemilih, diduga kuat mengunakan kartu pemilih ghost voters. Pasalnya, nama yang tertera di kartu pe­mi­lih berbeda dengan nama asli­nya yang tertera di KTP.

Selain itu, lanjut Sayed, ada ju­ga pemilih di salah satu TPS di Cipinang Muara, namanya menghilang dalam daftar DPT, sehingga tidak bisa ikut memberikan suaranya.

Sayed menilai, pelanggaran itu terjadi karena kacaunya daftar pemilih. Menurutnya, KPU DKI ikut andil terjadinya pe­langgaran, karena membo­leh­kan orang memilih hanya ber­bekal kartu pemilih, mes­ki­pun tidak disertai KTP DKI.

Selain soal ghost voters, kata Sayed, Pilkada Watch juga menemukan pelanggaran yang dilakukan salah satu pendukung pasangan cagub-cawagub DKI, yang menyebarkan black campaign pada pagi hari sebelum pencoblosan.

“Kami mendap-ati seorang loper koran yang menyebarkan tabloid yang isinya menyu­dut­kan partai dan calon tertentu,” ungkapnya. Sayed pun ren­cananya akan melaporkan te­muan-temuan tersebut ke Pan­was dan aparat kepolisian.

Masih banyaknya pelang­ga­ran juga diungkapkan Jaringan Pen­didikan Pemilih Untuk Rak­yat (JPPR). Menurut Ko­or­di­nator JPPR Jerry Sumampouw, da­ri pemantauan seribu rela­wan di wilayah DKI, masih di­te­mukan pelanggaran saat pencoblosan.

“Masih ada warga yang tidak tercantum dalam DPT dan ha­nya memakai KTP bisa men­coblos. Di sejumlah TPS juga terdapat tim sukses yang masih mengenakan atribut calon,” ungkapnya.

Jerry mengungkapkan, salah satu kasus di TPS 103 Pen­ja­ri­ngan, Jakarta Utra. Panitia KPPS memberikan izin kepada warga yang hanya memiliki KTP untuk mencoblos.

Selain itu, lembaga pemantau Pil­kada DKI ini melihat, dari 11 ribu lebih TPS, hanya sekitar 24 per­sen yang logistiknya leng­kap. “Rata-rata tidak lengkap dan mayoritas kekurangan surat su­ara,” katanya.

KPUD DKI Dilaporkan ke Polda

Minggu, 01 Juli 2007
( http://www.republika.co.id/kirim_berita.asp?id=298473&kat_id=3&edisi=Cetak)

JAKARTA -- Proses menuju Pilkada DKI Jakarta masih diwarnai silang sengkarut. Kemarin (30/6) ratusan massa dari sejumlah LSM melakukan demo di depan kantor KPUD DKI, menuntut Pilkada yang transparan. Sementara, DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DKI mengancam akan melaporkan KPUD DKI ke polisi.

Mendahului PKS, Sabtu (30/6), LSM pengawas Pilkada, Pilkada Watch, mendatangi Polda Metro Jaya membawa hasil pengecekan lapangan atas daftar pemilih tetap (DPT) dari KPUD DKI Jakarta. Pilkada Watch menemukan ketidakakuratan data DPT di berberapa wilayah DKI, sehingga melaporkan KPUD DKI ke polisi.

Dalam laporannya itu Pilkada Watch menuduh KPUD DKI telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. ''KPUD hanya memberi perpanjangan pendaftaran tambahan dua hari. Itu tidak cukup. Di beberapa tempat kami menemui banyak nama dobel dalam daftar DPT,'' kata Koordinator Pilkada Watch, Sayed Junaidi Rizaldi.

Berdasar data DPT dari berbagai sumber, Sayed dan kawan-kawannya melakukan penelusuran lapangan dan menemukan berbagai kejanggalan. Misalnya, satu orang bisa terdaftar dengan banyak nama. ''Di satu TPS di Matraman bahkan satu orang terdaftar dengan lima nama,'' kata Sayed. "Selain di Matraman, kejadian semacam itu juga ditemukan Sayed di wilayah Pengadegan, Utan Kayu, dan di Jakarta Barat."

Ancaman DPW PKS juga terkait dengan masih adanya "pemilih siluman" dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pilkada DKI Jakarta. Dari hasil penelitian terhadap DPT, PKS menemukan bukti-bukti kecurangan, seperti ditemukan oleh Pilkada Watch. Karena itu, DPW PKS akan melaporkan kasus "pemilih siluman" tersebut ke Polda Metro Jaya. "Kami akan melaporkan kasus tersebut ke Polda Metro Jaya," kata Kepala Bidang Politik dan Hukum DPW PKS DKI Jakarta, Rois Hadiyana.

Menanggapi ancaman itu, Ketua KPUD DKI, Juri Ardiantoro mempersilakan jika DPW PKS DKI Jakarta yang akan melaporkan KPUD ke Polda Metro Jaya. "Semua punya hak politik dan ini kan demokratis, ya terserah saja jika PKS akan melaporkan ke Polda Metro Jaya terkait DPT," katanya, di Jakarta, Sabtu (30/6).

Penetapan DPT itu, menurutnya, sudah sesuai prosedur dan KPUD juga melakukan verifikasi terkait warga yang masuk dalam daftar pemilih untuk Pilkada DKI Jakarta. Karena itu, ia mempersilakan saja jika DPW PKS akan membawa masalah DPT ke polisi. n rto/man/ayh

KPUD Dilaporkan ke Polda

Minggu, 01/07/2007
JAKARTA(SINDO) – Dinilai banyak melakukan kecurangan,Komisi Pemilihan Umum Daerah (PKUD) DKI Jakarta kemarin dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Mereka dilaporkan oleh LSM Pilkada Watch.

Laporan tersebut berisi dugaan kecurangan yang dilakukan KPUD DKI terkait pendataan daftar pemilih tetap (DPT). Koordinator Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi dan Litbang Pilkada Watch Dodi Yustiawan mengatakan terpaksa melaporkan KPUD karena lembaga tersebut dinilai banyak melakukan manipulasi data pemilih.

Menurut mereka,banyak daftar pemilih siluman (ghost voter) dalam DPT. Karena itu terlihat sangat janggal. ”Kami menemukan banyak ghost voter. Jika ini terus dibiarkan, akan potensial terjadinya konflik,”kata Sayed di Polda Metro Jaya,kemarin. Berdasarkan hasil pengawasan di sejumlah TPS di Jakarta Timur, jelas Sayed, pihaknya menemukan banyak kejanggalan dalam daftar pemilih.

Dia mencontohkan lima nama yang terpisah, padahal orangnya, alamat, hingga RT/RW-nya sama. Nama orang yang sudah meninggal pun ada yang masih tercantum sebagai pemilih.”Masih banyak kejanggalan yang ditemukan, seperti nama orang yang sudah lama pindah, tanggal lahir, dan sebagainya,”ujarnya. Pilkada Watch memperkirakan jumlah ghost voters yang tercantum dalam DPT di Jakarta Timur diperkirakan mencapai 30%. Itu belum di semua TPS di Jakarta. Sayed melihat kemungkinan adanya kelompok yang bermain sehingga banyak calon pemilih yang tidak jelas.

”Memang kami melihat kedua kandidat merasa dirugikan. Namun,saat ini PKS yang paling banyak kritis terhadap masalah ini,” jelasnya. Sayed menyadari KPUD DKI Jakarta masih memiliki banyak kelemahan karena baru kali pertama menyelenggarakan Pilkada secara langsung di Jakarta. Karena itu,dia mengaku khawatir terjadi konflik terbuka.

”Kami tidak mau terjadi benturan seperti pilkada yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia,” tandasnya. Meski Ketua KPUD DKI Jakarta Juri Ardiantoro memutuskan untuk tidak memperpanjang waktu pendaftaran,namun dia berharap setelah laporan ini KPUD DKI Jakarta kembali bersedia menambah waktu pendaftaran pemilih.Apalagi,ini untuk kebaikan masyarakat yang menginginkan pilkada yang jujur dan adil. Sayed juga meminta kepada polisi maupun Panitia Pengawas Pilkada (Panwasda) DKI Jakarta menindaklanjuti laporannya ini.

“Masih banyak kekeliruan yang dilakukan KPUD dalam menyelenggarakan pilkada,” ujarnya. Di bagian lain, empat orang yang mengaku sebagai kader PKS terpaksa berurusan dengan petugas kepolisian lantaran tertangkap tangan mengambil daftar pemilih tetap (DPT) yang terpasang di papan pengumuman di Kelurahan Pancoran, Jalan Pancoran Barat III,Jakarta Selatan.

Menurut petugas Satpol PP, Uus,30,peristiwa itu terjadi sekitar pukul 22.00 WIB. Salah seorang pelaku bernama Lukman Hakim kedapatan mencopot 20 dari 25 lembar DPT yang terpampang di papan pengumuman. Sebelumnya, Uus menduga Lukman bersama tiga rekannya hanya ingin membaca daftar nama- nama itu.

”Mereka langsung mencopot puluhan kertas yang dikaitkan kawat pada papan pengumuman dengan alasan mau difotokopi untuk disosialisasikan kepada warga,”terangnya. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meminta semua pihak bertindak bijaksana dalam melihat masalah tersebut.Menurutnya, selama ini KPUD Jakarta sudah bekerja maksimal. Karena itu, dia mengimbau masyarakat agar proaktif dalam masalah ini dan tidak menunggu petugas dari KPUD datang. (sucipto)

Diduga Curang, KPUD DKI Dilaporkan ke Polda Metro Jay

Melly Febrida - detikfood

Jakarta - Pilkada Watch melaporkan KPUD DKI Jakarta ke Polda Metro Jaya. Laporan ini berisi dugaan kecurangan yang dilakukan KPUD DKI dalam mendata nama pemilih.

"Jangan mengurangi hak politik, beri kelonggaran dua minggu sehingga masyarakat mempunyai kesempatan mendaftar," kata Koordinator Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi saat dihubungi detikcom, Sabtu (20/6/2007).

Menurut Sayed, banyak nama calon pemilih di daftar pemilih tetap (DPT) yang terlihat janggal. Contohnya saja seorang pemilih terdaftar hingga 5 kali di satu TPS, padahal sekitar 40 persen warga yang belum terdaftar. Selain itu ada juga warga yang sudah meninggal dan pindah, masuk dalam daftar calon pemilih.

"Sementara yang kita laporkan itu. Apakah ini ada upaya rekayasa dari panitia setempat," imbuh Sayed yang saat dihubungi masih di Mapolda Metro Jaya.

Sayed mengatakan, memang undang-undang menjelaskan jika ada masalah bisa dilaporkan ke Panwas. Namun dalam kasus ini terindikasi terjadi tindak pidana.

"Dalam undang-undang disebutkan kita bisa melaporkan ke Panwas, sampai sekarang saja kita tidak tahu kantor Panwas di mana. Namun jika terindikasi pidana bisa dilaporkan ke pihak yang berwenang," ujarnya.

Sayed mempertanyakan KPUD DKI yang selama ini hanya mau memberitahukan daftar calon pemilih kepada instansi tertentu. "Pertanyaan kenapa kita tidak boleh tahu daftar nama dan jumlah daftar pemilih, hanya instansi tertentu. Padahal pilkada milik masyarakat bukan instansi tertentu," pungkasnya. [mly/asy]

Serangan Fajar, Tradisi Jelang Pencoblosan

08/08/2007 - Irwan Nugroho - Detik.com

Jakarta - Serangan fajar sepertinya adalah hal biasa. Apalagi kala pemilu atau Pilkada akan digelar. Dan sudah menjadi rahasia umum pula kalau tradisi ini sulit untuk dihapuskan.

Tak terkecuali dalam pilkada DKI Jakarta yang dalam hitungan jam akan digelar. Dipastikan, bentuk rayuan kepada pemilih dengan membagi-bagikan barang tertentu menjelang pemilihan masih sulit diantisipasi.

"Bentuk-bentuk kecurangan seperti itu memang tidak diatur dalam UU. Hanya saja hal itu sangat bertentangan dengan moral dan etika politik," kata koordinator Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi saat dihubungi detikcom Rabu (8/8/2007).

Masyarakat pun hanya bisa diminta untuk berhati-hati bila bertemu dengan oknum yang melakukan bujuk rayu dengan imbalan tertentu untuk memilih salah satu calon.

"Sampai besok pagi masih ada. Di TPS, biasanya ketika seorang pemilih masuk, ada oknum yang sengaja membisikkan sesuatu," imbuh Sayed.

Sayed mencatat, bentuk-bentuk kecurangan seperti itu sudah terjadi sejak H-1. Dia mencontohkan seperti adanya pembagian beras bagi warga di RW 15 kelurahan Pademangan Barat, Jakarta Utara.

Kemudian, anjuran dari salah satu ketua umum partai melalui selebaran gelap di Jl Kerajinan II, Jakarta Barat.

"Masyarakat harus hati-hati. Jangan gara-gara dipengaruhi, 5 tahun ke depan Jakarta tidak berkembang," tandas Sayed. (irw/ndr)

Hari Kedua Masa Tenang, Reklame Kampanye Masih Terpajang

06/08/2007 - detikcom

Jakarta - Masa tenang untuk Pilkada DKI Jakarta sudah memasuki hari kedua. Namun di beberapa sudut kota Jakarta, reklame, poster dan selebaran kampanye masih banyak dijumpai. KPU DKI Jakarta pun diminta mengambil tindakan tegas.

"Memang sepele, tapi kalau bicara demokrasi, ini sudah mencederai," kata
koordinator Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi dalam jumpa pers di Kafe
Darmint, Pasar Festival, Kuningan, Jakarta, Senin (6/8/2007).

Dalam kesempatan itu, Sayed menunjukkan bukti-bukti temuannya. Antara lain
foto 2 papan reklame pasangan cagub-cawagub di kawasan Mangggarai dan Kuningan. Hingga yang diambil Minggu 5 Agustus 2007 pukul 20.00 WIB, reklame yang berada di kawasan Manggarai dan Kuningan itu tampak masih tegap berdiri.

Selain itu, Sayed juga menunjukkan satu eksemplar tabloid berjudul
"Jakarta Untuk Semua" yang diterbitkan oleh Fauzi Bowo Centre (FBC).
Tabloid itu masih beredar bebas hingga kini.

"Kami juga menemukan selebaran-selebaran gelap yang berisikan black
campaign," ujar Sayed.

Sayed khawatir, jika masih tetap dibiarkan, situasi ini dapat dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk memperkeruh proses Pilkada. Konflik antar pasangan cagub pun bisa menyeruak.

"Karena itu kami mengimbau agar para calon tidak mudah terpancing di masa
tenang ini," imbuhnya.

Sayed juga menyayangkan terjadinya pergantian pimpinan di Panwasda DKI. Sebab, pengawasan Panwasda di masa tenang menjadi terganggu. (irw/ken)

KPUD DKI Dilaporkan ke Polda Metro Jaya

JAKARTA--MIOL: KPUD DKI Jakarta dilaporkan ke Polda Metro Jaya, Sabtu (30/6) oleh Pilkada Watch (PW) ke Polda Metro Jaya atas tuduhan menyelewengkan data pemilih.

Tercatat sebagai pelapor adalah Koordinator Litbang PW, Dodi Yustiawan. "Kita menemukan banyak sekali ghost voters, kalau ini dibiarkan bisa berpotensi konflik," kata Koordinator PW Sayed Junaidi Rizaldi seusai membuat laporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Polda Metro.

Sayed mencontohkan di sejumlah TPS di Jaktim, pihaknya menemukan banyak kejanggalan dalam daftar pemilih. "Misalnya saja ada 5 nama terpisah padahal orangnya sama. Alamat hingga RT dan RW nya juga sama semua. Yang berbeda cuma no induknya saja," katanya seraya menunjukkan data pemilih yang ia peroleh dari sejumlah TPS.

Selain itu ada juga modus lain seperti nama orang meninggal yang masih terdaftar sebagai pemilih, nama orang yang sudah lama pindah, nama orang yang tanggal lahirnya janggal, dan sejumlah nama dengan nomor urut yang sama.

PW memperkirakan jumlah ghost voters mencapai sekitar 30% dari total pemilih yang terdaftar. "Dari data yang kita punya hanya sebagian kecil saja, dan merata hampir di semua TPS di Jakarta," kata Sayed.

Sayed mengatakan ada kemungkinan kelompok salah satu kandidat yang bermain sehingga banyak terdaftar pemilih yang tidak jelas. "Tapi saya lihat kedua kandidat merasa dirugikan. Memang PKS yang paling banyak 'teriak', tapi Pak Fauzi Bowo juga pernah mengatakan bahwa massanya banyak yang tidak terdaftar," paparnya.

Kemungkinan lain, kata Sayed, KPUD DKI Jakarta memang masih memiliki banyak kelemahan karena baru pertama kali menyelenggarakan Pilkada. Sayed khawatir, hal semacam ini menjadi peluang konflik terbuka.

"Coba lihat saja Pilkada-pilkada di daerah lain. Kita tidak mau hal semacam itu terulang di Jakarta," tandasnya. (*/OL-06) Penulis: Bagus BT. Saragih

www.media-indonesia.com/berita.asp?id=136876

KPUD Menilai Somasi Pilkada Wach Perkeruh Suasana

Rabu, 18 juli 2007
JAKARTA (Pos Kota) – Pilkada Wacth dinilai tim advokasi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta mencoba memprovokasi masyarakat. Pasalnya tindakan somasi terbuka yang dilakukan lewat media dianggap memperkeruh suasana dalam rangka pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta.

Didalam somasi yang dikemukakan oleh Sayed Junaedi Rizaldi sebagai koordinator Pilkada Wacth yang mewakili masyarakat Jakarta seolah-olah sebagai pemantau Pilkada. Namun berdasarkan hasil verifikasi oleh KPUD lembaga Pilkada Wacth tidak termasuk sebagai pemantau.

“Baik Sayed Junaidi maupun Pilkada Wacth tidak mempunyai kapasitas hukum (legal standing) untuk mengajukan somasi kepada KPUD Jakarta,”jelas Sirra Prayuna, Tim Advokasi KPUD Jakarta, saat memberikan keterangan press untuk menanggapi somasi terbuka dari Pilkada Wacth tersebut, Rabu (18/7).

Ia juga mengatakan jika somasi terbuka yang diajukan selain melanggar prosedur hukum acara. Sebab tuntutannya melebihi lingkup kewenangan dari somasi, yakni akan melakukan upaya hukum pidana dan tata usaha negara dapat disinyalir sebagai kampanye sepihak yang ditujukan untuk mendiskriditkan KPUD. Selain itu juga dapat menimbulkan instabilitas bagi penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil.

“Somasi yang ditujukan selain melanggar prosedur hukum acara dengan tuntutan melebihi lingkup kewenangan dari somasi,”ucap Sirra.

Selain itu, Tim Advokasi KPUD memandang somasi yang diajukan oleh koalisi pengacara untuk rakyat Jakarta yang bertindak dan untuk Sayed Junaidi telah menjurus pada “Judgement”, atau penghakiman terhadap KPUD yang dapat dikualifisir sebagai tindak pidana.

Sementara itu, Muflizar, Anggota KPUD Jakarta, menanggapi somasi tersebut tidak perlu ditanggapi serius. Pasalnya somasi itu tidak ditujukan ke KPUD tapi ke media masa, karena sampai saat ini tidak ada surat yang masuk atas somasi tersebut.

“KPUD belum pernah menerima surat somasi dari Pilkada Wacth,”tegas Muflizar, sambil mengatakan jika surat terbuka janganlah menimbulkan fitnah dan bisa membuat suasana semakin panas menjelang pelaksanaan Pilkada ini.

PILKADA DKI: KPUD DKI Siap Hadapi Gugatan

Selasa, 17 Juli 2007
JAKARTA (Suara Karya): Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta secara institusi siap menghadapi gugatan apa pun terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Sebab, DPT merupakan data yang disusun secara akurat dan sebagai dukumen untuk menerbitkan kartu pemilih bagi masyarakat DKI yang akan menggunakan hak politiknya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 8 Agustus mendatang.

"Kita siap menghadapi gugatan apa pun menyangkut DPT. Kita akui bahwa DPT yang ada itu tidak seratus persen valid, misalnya ada double nama, ada orang yang sudah meninggal masih didaftar, ada orang gila juga masih didaftarkan sebagai pemilih. Namun, kita jamin orang yang meninggal, orang gila tak akan diberikan kartu pemilih saja. Jadi, tim advokasi KPUD siap menghadapi somasi," kata anggota KPUD DKI Muflizar di kantor KPUD, Jalan Budikemuliaan No 12, Jakpus, Senin (16/7).

Pernyataan Muflizar itu menanggapi somasi yang disampaikan oleh Koordinator Pilkada Watch Sayed Junaidi Rizaldi bersama 25 pengacara di beberapa media massa kemarin. "Somasi itu sama saja dengan surat terbuka, karena tidak disampaikan kepada KPUD, jadi kita tidak perlu menanggapinya. Dia (Sayed Junaidi-- Red) tak bisa mengatasnamakan koalisi untuk rakyat Jakarta, karena tidak ada bukti yang mewakili rakyat. Dia juga tidak termasuk 5,7 juta calon pemilih pilkada. Jadi, Rakyat Jakarta yang mana?" katanya.
Pada Selasa (17/7) ini tim advokasi KPUD akan melakukan rapat untuk membahas beberapa agenda krusial, termasuk membahas perampasan DPT beberapa waktu lalu.

Anggota KPUD yang lain menambahkan, dua pasangan calon gubernur-wakil gubernur, Adang Daradjatun-Dani Anwar dan Fauzi Bowo-Prijanto akan memaparkan visi misi di depan rapat paripurna istimewa DPRD, Minggu (22/7) pukul 10.00 WIB. Untuk keperluan rapat paripurna itu, Jalan Kebon Sirih, Jakpus, diusulkan untuk ditutup sementara dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. (Yon Parjiyono)

Sabarno & Saleh Djasit Dibidik Jadi Tersangka?

Terkait Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Pemadam Kebakaran

(Kamis, 15 Maret 2007) Penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat berat pemadam kebakaran bakal masuk ke tahap penyidikan. Diperoleh informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa pertengahan bulan ini atau paling lambat akhir Maret sudah ada tersangkanya.

BERDASARKAN catatan Rakyat Merdeka su­dah 12 pejabat dan bekas pejabat daerah yang sudah diperiksa terkait kasus yang meng­gunakan APBD tahun anggaran 2003-2004 itu (ba­ca tabel). Beberapa di antara mereka ka­bar­nya akan dibidik sebagai tersangka, salah satunya bekas Gubernur Riau Saleh Djasit.

Informasi dari KPK yang tidak mau dise­butkan jatidirinya menyebutkan, Saleh Djasit saat menjadi Gubernur Riau diduga melakukan pe­nun­jukan langsung sebelum pembentukan pa­nitia. Begitu juga diduga melakukan peru­bah­an per­­mintaan dari 10 menjadi 20 ken­da­raan pe­madam kebakaran tanpa persetujuan DPRD Riau.

Bukan itu saja, lembaga yang dipimpin Tau­fiequrachman Ruki itu juga dikabarkan akan membidik sejumlah tersangka dari pejabat De­partemen Dalam Negeri (Depdagri) ter­masuk menterinya yang saat itu dijabat Hari Sabarno.

Yang menarik, Hari Sabarno memang belum pernah diperiksa KPK terkait kasus itu, namun berdasarkan keterangan Ketua KPK Taufie­qu­rach­man Ruki bahwa adanya dugaan korupsi itu berupa penggelembungan harga dan dila­ku­kan tanpa mengindahkan ketentuan Keppres 80/2003 serta adanya radiogram dari Mendagri yang mengarahkan digunakannya alat pe­ma­dam kebakaran jenis V 80 ASM yang re­kan­annya telah ditentukan yaitu PT Istana Sarana Raya.

Kalau benar apa yang disebutkan Taufie­qu­rach­man Ruki itu, berarti sangat berdasar ada­nya kabar bahwa Hari Sabarno bakal dibidik sebagai tersangka. Begitu juga, bila benar Saleh Djasit juga dianggap melanggar Keppres 80/2003 sehingga masuk akal jika ada ka­bar anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar itu ditetapkan sebagai tersangka.

Tapi ini semuanya masih menunggu hasil pe­ngumuman penyidik KPK. Apakah Hari Sa­bar­no dan Saleh Djasit dibidik sebagai ter­sang­ka atau tidak. Rakyat tentunya menunggu dan berharap siapapun yang terindikasi me­lakukan korupsi harus diproses secara hukum.

Demikian disampaikan Ketua Barisan Suara Muda Indonesia (Basmi) Sayed Junaidi Rizaldi dan Sekjen Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (Ismahi) Syahri Ramadhani kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

‘’Siapapun yang diduga melakukan korupsi agar KPK menetapkan sebagai tersangka, tidak peduli apakah dia pejabat atau bekas pejabat.

Kalau memang Hari Sabarno dan Saleh Djasit terindikasi menyalahi Keppres 80/2003 tentu wajar bila dibidik sebagai tersangka,” ujar Sayed Junaidi Rizaldi.

Dikatakan, penanganan kasus ini harus sis­tematis dan berakhir dengan baik karena selama ini di mata masyarakat KPK tidak per­nah menyelesaikan suatu kasus sampai dengan akar-akarnya. Jangan sampai kasus ini buntu pada dinding kekuasaan maupun adanya negosiasi.

Menurut Sayed, kasus ini juga menyangkut masalah kebijakan yang diambil pemerintah me­­lalui Mendagri ketika itu. Sebab itu Men­dag­ri saat itu perlu diminta keterangannya dan kalau memang ada bukti kuat terlibat korupsi ha­rus ditetapkan sebagai tersangka.

‘’Jadi, Hari Sabarno harus diperiksa juga dong, sehingga bisa kasusnya menjadi terang benderang,’’ ujarnya.

Sayed menyerukan kepada KPK agar tidak se­tengah-setengah dalam menangani kasus ini. Kalau satu-satu ditetapkan sebagai tersangka maka dikhawatirkan ada negosiasi antara KPK dengan calon tersangka. “Supaya adil kalau me­mang ada bukti-bukti korupsi, ya semua harus di­tetapkan sebagai ter­sangka sekaligus,” cetusnya.

Sementara Syahri Ramadhani mengatakan, hendaknya kasus ini segera dituntaskan dengan penetapan tersangka bila memang ada indikasi korupsinya.

“Jangan lama-lama lagi dong, bila perlu se­gera mungkin. KPK jangan pilih kasih, siapa pun yang terlibat, termasuk Hari Sabarno yang men­jabat Mendagri saat itu, begitu juga Saleh Dja­sit yang saat ini menjadi anggota DPR dari Frak­si Partai Golkar. Kalau keduanya ter­in­dikasi melanggar Keppres 80/2003 tetapkan sa­ja sebagai tersangka,’’ paparnya. RM - WHY

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=34259

12 November 2007

Pilkada Watch Somasi KPUD

Diduga ada upaya sistematis 'mainkan' DPT

(www.republika.co.id Senin, 16 Juli 2007) Kasus dugaan jutaan warga DKI Jakarta yang tak terdaftar dan munculnya 'pemilih siluman' (ghost voters) kini mengarah ke upaya pidana. Pilkada Watch melayangkan somasi kepada KPUD DKI Jakarta karena dinilai tidak mengindahkan laporan sejumlah pihak yang menyoal kasus diatas. Somasi berlaku 3 x 24 jam terhitung sejak Ahad (15/7) kemarin.

Koordinator Pilkada Watch, Sayed Junaidi Rizaldi, mengatakan, bila dalam tempo tersebut KPUD tidak memberikan tanggapan, pihaknya akan mengajukan gugatan hukum pidana, perdata, dan tata negara. ''Kami minta KPUD merespons masukan sejumlah pihak yang mempersoalkan jutaan warga yang tidak terdaftar maupun pemilih siluman. Bila ini tidak diindahkan, kami nilai hasil Pilkada nantinya cacat hukum,'' ujar Sayed, di Jakarta.

Ketua Pokja Pencalonan KPUD DKI Jakarta, Riza Patri, tidak mempersalahkan upaya somasi tersebut. Pihaknya siap memberikan keterangan sesuai tuntutan Pilkada Watch. ''Ini negara demokrasi, jadi wajar kalau mereka protes atau masih menyoal sejumlah permasalahan. KPUD sendiri siap memberikan jawaban.''

Pilkada Watch memberikan kuasa kepada Koalisi Pengacara untuk Rakyat Jakarta dalam memberikan somasi. Koordinator Koalisi Pengacara, Zainuddin Paru, mengatakan KPUD tidak bekerja sesuai Pasal 19 PP No 6 Tahun 2005 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini indikasi banyaknya pemilih siluman dan jutaan warga yang tidak terdaftar.

''KPUD harus merevisi data Daftar Pemilih Tetap (DPT) sesuai laporan LP3ES. Masak, LSM sekelas LP3ES tidak digubris KPUD, padahal penelitian mereka tidak diragukan lagi,'' papar Zainuddin. Bila tetap dibiarkan, lanjut dia, hal tersebut membuka peluang terjadinya kecurangan pada pemungutan suara.

Terkait kasus jumlah warga yang belum terdaftar dan dugaan banyaknya pemilih siluman, Sayed menduga adanya upaya sistematis dalam pendataan identitas pemilih. Tujuannya untuk memenangkan calon gubernur tertentu. Tahapan awal ada identifikasi pemilih dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta.

''Data tersebut dipakai mentah-mentah oleh KPUD. Namun, oleh KPUD tidak dilakukan verifikasi secara akurat. Ini yang memunculkan kecurigaan sejumlah pihak, mengapa masih ada 21 persen warga Jakarta yang tidak terdaftar, termasuk banyaknya pemilih siluman,'' tutur Sayed.

Hapus pemilih ganda
Pada somasi itu, KPUD diminta mengaudit Daftar Pemilih Tetap (DPT) guna menghapus nama-nama pemilih ganda dan ghost voters. Kedua menerbitkan Surat Keputusan yang membolehkan pemilih yang belum terdaftar dapat memilih, syaratnya hanya menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta disertai keterangan domisili dari pengurus Ruku Tetangga (RT) setempat.

Adanya tuntutan itu, Riza kembali menyatakan. DPT sudah sesuai prosedur yang diatur di UU. ''Kami jamin data-data pemilih sesuai daftar yang ada di Rukun Tetangga (RT),'' katanya. Kalau toh ada pemilih yang memiliki surat suara ganda, menurut Riza, itu hal yang biasa. Hanya saja, jumlahnya tidak signifikan. ''Kesalahan pendataan bagaimanpun tetap ada.''

Fakta Angka

21 persen

warga Jakarta yang tidak terdaftar dalam pilkada. (zak )

Sumber Republika

MA Takut Disalahi Kejagung Nggak Pede

(www.komisiyudisial.go.id 10-Januari-2007) Keengganan Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan fatwa kekurangan pembayaran uang pengganti kasus korupsi yang diminta Kejaksaan Agung (Kejagung) karena tidak mau disalahi. Ada kesan lembaga yang dikomandoi Bagir Manan itu tidak mau menambah daftar keburukan MA di mata masyarakat.

BANYAK kalangan menganggap sikap itu diambil MA lantaran Kejagung tidak percaya diri (pede) dalam menjalankan putusan ter­se­but. Padahal masyarakat menilai pe­ngurangan uang pengganti kasus korupsi bisa berdampak ne­gatif di masyarakat. Demikian disampaikan aktivis 1998 Sayed Ju­naidi Rizaldi dan anggota badan pekerja In­donesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo kepada Rakyat Merdeka di Ja­karta, kemarin.

Menurut Sayed Junaidi Rizaldi, keinginan Kejagung meminta fatwa kepada MA karena lembaga yang dikomandoi Abdul Rahman Saleh itu ingin di back up “Kejagung maunya di back-up tapi sa­yang­nya MA nggak mau. Jadi MA takut disalahi nanti oleh masyarakat, sedangkan Kejagung sendiri tidak bisa mengeluarkan aturan jadinya nggak percaya diri (pede-red),” ujarnya.

Ketidakcocokan antara MA dengan Ke­jagung itu menandakan kalau keduanya tidak ada koordinasi yang baik. Diakui Ketua Ba­risan Suara Muda Indonesia (Basmi) itu, permintaan fatwa Kejagung dan penolakan MA menandakan ada keraguan di antara lem­baga penegak hukum.

Padahal, lanjut pria yang biasa Pakcik itu, ke­raguan dalam bidang hukum bisa me­nye­babkan adanya ketidakpastian hukum di In­donesia. Apakah demokrasi saat ini me­nye­babkan lembaga negara menjadi ragu soal ke­tentuan hukum yang berlaku. Kalau begitu, apa artinya demokrasi kalau harus dibayar dengan tidak adanya kepastian, apalagi dari segi hukum.

“Sekarang ini semua serba aneh. Kalau suatu lembaga negara, terutama yang ber­kaitan dengan hukum ada keraguan, dan hal yang sama dialami lembaga hukum lain itu bi­sa gawat. Itu namanya tidak ada koordinasi yang berjalan dan bisa menghancurkan ke­seimbangan dalam upaya memberantas korupsi,” tuturnya.

Sementara Adnan Topan Husodo me­nga­ta­kan, masalah sebenarnya tanggungjawab Kejagung. Dengan dimintanya fatwa kepada MA ada kesan Kejagung ingin melempar masalah.

“MA jangan mau mengabulkan permintaan Kejagung. Heran, apa-apa minta fatwa. Itu kan sudah tanggungjawab Kejagung, jangan melempar masalah ke yang lain,” katanya.

Adnan juga mengatakan, masalah itu bisa saja terjadi deadlock. Kalau sudah begitu, bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hu­kum. Apalagi sampai meminta fatwa ke­pada MA dan MA mengabulkannya, se­men­tara soal eksekusi itu urusan kejaksaan.

Kendati begitu, dia menyarankan agar Ke­jagung memperbaiki data-data mutakhir ter­hadap uang pengganti yang dibebankan ke­pada para koruptor. Tapi Adnan meminta supaya itu dilakukan secara ha­ti-hati karena ber­kaitan dengan penegakan hu­kum di In­do­nesia. “Yang jelas jaksa sebagai eksekutor ha­rus­nya bisa menjalankan peran itu sebaik-baik­nya. Terpenting yaitu bagaimana kinerja me­reka bisa baik di mata masyarakat,” tandasnya. RM (sumber rakyat merdeka)

Pejabat Jebolan IPDN Nggak Jamin Anti Korupsi


Lebih Banyak Mudaratnya Ketimbang Manfaatnya

(www.kontras.org 11 Apr 2007) Solusi yang diambil Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY) memotong satu generasi mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dinilai tidak menyelesaikan masalah. Sebab, tindak kekerasan berulang kali terjadi.

SUDAH saatnya dibubarkan saja. Apalagi, pe­jabat jebolan dari IPDN itu nggak dijamin anti korupsi. Padahal, tindak kekerasan yang dilakukan senior kepada juniornya agar ber­mental kuat, tapi begitu dihadapkan kepada uang bisa jadi matanya menjadi gelap se­hing­ga tercipta kasus dugaan korupsi.

Indikasi pejabat jebolan dari IPDN itu nggak dijamin anti korupsi bisa dilihat dari In­d­eks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International Indonesia me­ning­kat dari 2,2 tahun 2005 menjadi 2,4 ta­hun 2006. Ini menunjukkan betapa me­ning­gi­nya ko­rupsi di Indonesia yang bisa jadi di an­­taranya dilakukan pejabat jebolan dari IPDN.

Bila melihat dari sisi ini, dan sisi kekerasan yang terjadi di kampus IPDN tentu bisa dika­­takan keberadaan Institut itu lebih banyak mu­daratnya ketimbang manfaatnya. Jadi, sudah saatnya dibubarkan saja.

Desakan itu disampaikan sejumlah rakyat kepada Rakyat Merdeka, antara lain Ketua Barisan Suara Muda Indonesia (Basmi) Sayed Ju­naidi Rizaldi dan Koordinator Komisi Un­tuk Orang Hilang dan Korban Tindak Ke­ke­rasan (Kontras) Usman Hamid di Jakarta, kemarin.

‘’Saat menjadi mahasiswa jago nendang. Begitu menjadi pejabat nggak dijamin anti ko­rupsi. Jadi, keberadaan IPDN lebih banyak mu­­daratnya ketimbang manfaatnya,’’ kata Sayed Junaidi Rizaldi.

“IPDN hanya menghasilkan pejabat yang ku­rang berkualitas. Bisa dibilang nggak ber­buat banyak untuk bangsa ini. Saya kira men­ding dibubarkan saja,” tambahnya.

Dikatakan, para pejabat yang dihasilkan IPDN tidak bisa dijamin 100 persen bakal suk­ses. Banyak penyelewengan uang negara ka­rena banyak pejabat yang diduga makan duit rakyat.

Untuk menjadi seorang pejabat, menu­rut­nya, tidak perlu harus bersekolah khusus. Apa­lagi, sekolah itu bisa menciptakan ke­ma­tian karena adanya tindak kekerasan di sana. Harusnya pemerintah merespon sejak awal ketika IPDN masih bernama STPDN. Itu bu­kan sekolah militer

‘’Ketika terjadi kematian, pemerintah dide­sak untuk membenahinya. Tapi sebelumnya ini dipertahankan untuk menghasilkan bi­rokrat-birokrat yang tidak independen,’’ paparnya.

Sementara Usman Hamid mengatakan, IPDN gagal karena hanya bisa mencetak pe­jabat yang menonjolkan ketahanan fisik da­ri­pada pejabat dengan intelektual tinggi yang anti terhadap korupsi.

“IPDN telah gagal dalam mencetak calon pejabat negara yang cerdas. Bisanya hanya men­ciptakan taruna-taruna tahan pukul saja. Ma­kanya jangan heran kalau pejabat lulusan dari situ kualitasnya masih rendah,” ucapnya.

Terjadi berulangkali tindak kekerasan di IPDN, lanjutnya, merupakan bentuk ajang balas dendam kepada juniornya karena tidak bisa membalaskan kekerasan yang dilakukan pen­dahulunya. Jadi, lembaga pendidikan di daerah Jatinangor, Sumedang, itu hanya bisa mem­berikan warisan kekerasan saja.

“Yang ada hanya doktrin militer saja yang me­ng­utamakan keperkasaan fisik dan pe­ngormatan yang berlebihan kepada senior saja. Celakanya hal itu menimbulkan sistem ko­mando saat para praja IPDN menjadi pe­jabat. Untuk itu mesti ada pengusutan secara tuntas terhadap kasus kematian Cliff Muntu itu. Sebab itu bukan saja tindak pidana melain­kan sudah pelanggaran HAM berat,’’ paparnya.

Terhadap pembubaran IPDN, Usman me­ngaku harus dilakukan pengkajian men­da­lam. Sebab, masih banyak masyarakat yang berharap putera-puterinya dapat bersekolah di kampus negeri yang biayanya relatif murah.

“Kalau mau dibubarkan mesti ada alter­natif lainnya. Sebab, masih banyak ma­sya­rakat menengah ke bawah yang berharap da­pat menyekolahkan anaknya ke kampus ne­geri yang biayanya terjangkau. Tapi kalau mau dipertahankan mesti dilakukan peru­bah­an sistemnya,’’ kata Usman. Rakyat Merdeka

Rusdi Taher Diminta Beberin Kerugian Kasus Kemayoran

Kamis, 23 November 2006

(www.bpk.go.id) Bekas Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rusdi Taher diminta untuk membeberin adanya kerugian negara dalam kasus Kemayoran. Jangan diam saja terhadap pernyataan Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) Hendarman Supandji bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut.

APALAGI sebelumnya Rusdi Taher menyatakan pengambil-alihan kasus itu ke Timtas Tipikor bentuk intervensi petinggi Kejagung. Padahal, kalau saja tidak diambil alih sudah ditetapkan tersangkanya.

Begitu juga bila Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah menduga ada kerugian negara dalam kasus itu hendaknya membeberkan juga kepada publik, sehingga ada kejelasan mengenai kasus itu. Apakah Kejagung yang tidak serius menanani kasus itu atau memang tidak ada unsur korupsinya.

Timtas Tipikor yang menangani kasus itu hendaknya jangan bersikap mencla-mencle dalam bersikap. Kalau memang sudah dinyatakan tidak ada kerugian negara, ya bilang dengan tegas bahwa kasus itu ditutup saja. Jangan informasinya diombang-ambingkan bahwa kasus ini masih tetap dilakukan penyelidikan. Itu namanya mencla-mencle.

Begitu disampaikan pengacara kondang Adnan Buyung Nasution dan bekas aktivis 1998 Sayed Junaidi Rizaldi kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

"Kalau BPK yang mengatakan ada potensi kerugian, ya lembaga itulah ada yang berkewajiban untuk menjelaskannya kepada masyarakat di mana letak kerugiannya. Begitu juga Rusdi Taher yang kabarnya mau menetapkan tersangka saat kasus itu masih ditangani Kejati DKI Jakarta," kata Adnan Buyung Nasution.

Dikatakan, Timtas Tipikor hendaknya transparan dalam memberikan penjelasan penanganan kasus Kemayoran. Ini penting agar tidak menimbulkan tudingan yang macam-macam. Misalnya adanya kabar bahwa kasus itu akan ditutup.

Setiap penanganan kasus, lanjut Buyung, apakah penyelidikan ataupun penyidikan mesti disertai dengan azas keterbukaan, jangan bikin bingung masyarakat. Misalnya dibilang tidak ada kerugian negara tapi tetap saja dilakukan penyelidikan. Seharusnya bilang penanganan kasus itu distop saja tapi harus berani menanggung resikonya. Jangan bersikap aman seperti sekarang yang terkesan mengulur-ulur penanganan kasus itu. Cara ini bisa dinilai bersikap mencla-mencle yang menimbulkan syak wasangka.

Menurut Adnan, selama ini aparat penegak hukum seperti jaksa dan kepolisian tidak mampu memberikan penjelasan kepada masyarakat terhadap penanganan suatu kasus. Padahal di masyarakat itu sangat penting bagi pengetahuan hukumnya.

"Di masyarakat itu ada pemerhati hukum. Apalagi masyarakat punya hak untuk tahu. Jadi, jaksa mesti mampu menjelaskan terhadap kasus yang ditangani," katanya.

Sementara Sayed Junaidi Rizaldi mengatakan, kasus sengketa lahan Kemayoran masih menyimpan misteri. Sebab sampai sekarang kasus ini tidak pernah diekspos secara jelas ke masyarakat.

"Kasus ini jelas ada muatan kepentingan politik. Kalau memang kasusnya ditutup berarti dugaan masyarakat bisa benar kekuatan kekuasaan masih bermain di dalamnya," ucapnya.

Dikatakan, kinerja Timtas Tipikor masih lemah, apalagi menangani kasus yang diduga ada unsur kekuasaannya. Kalau begitu, tim itu tidak bisa dikatakan sebagai penegak hukum, tapi lebih pada melindungi orang-orang yang punya kekuasaan.

Aparat penegak hukum, lanjutnya, masih tidak berkutik dengan kepentingan politik. Contohnya kasus Soeharto, yang dihentikan penyidikannya oleh Kejagung. Padahal masyarakat Indonesia sekarang sudah mulai kritis, reformasi di segala bidang yang susah payah dibangun harusnya bisa diterapkan, bukannya hanya dijadikan semboyan saja.

"Pemerintah harusnya tegas dalam upaya memberantas KKN. Jangan karena ada kedekatan seseorang lantas kasus yang berkaitan kepadanya dihentikan. Jangan jadikan budaya ini menjadi budaya masyarakat Indonesia yang tidak bisa dihilangkan. Mana reformasi yang digembar-gemborkan," paparnya. RM

Sumber: Rakyat Merdeka

KELUARGA Anugerah Yang Tiada Ternilai