BANYAK kalangan menganggap sikap itu diambil MA lantaran Kejagung tidak percaya diri (pede) dalam menjalankan putusan tersebut. Padahal masyarakat menilai pengurangan uang pengganti kasus korupsi bisa berdampak negatif di masyarakat. Demikian disampaikan aktivis 1998 Sayed Junaidi Rizaldi dan anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Menurut Sayed Junaidi Rizaldi, keinginan Kejagung meminta fatwa kepada MA karena lembaga yang dikomandoi Abdul Rahman Saleh itu ingin di back up “Kejagung maunya di back-up tapi sayangnya MA nggak mau. Jadi MA takut disalahi nanti oleh masyarakat, sedangkan Kejagung sendiri tidak bisa mengeluarkan aturan jadinya nggak percaya diri (pede-red),” ujarnya.
Ketidakcocokan antara MA dengan Kejagung itu menandakan kalau keduanya tidak ada koordinasi yang baik. Diakui Ketua Barisan Suara Muda Indonesia (Basmi) itu, permintaan fatwa Kejagung dan penolakan MA menandakan ada keraguan di antara lembaga penegak hukum.
Padahal, lanjut pria yang biasa Pakcik itu, keraguan dalam bidang hukum bisa menyebabkan adanya ketidakpastian hukum di Indonesia. Apakah demokrasi saat ini menyebabkan lembaga negara menjadi ragu soal ketentuan hukum yang berlaku. Kalau begitu, apa artinya demokrasi kalau harus dibayar dengan tidak adanya kepastian, apalagi dari segi hukum.
“Sekarang ini semua serba aneh. Kalau suatu lembaga negara, terutama yang berkaitan dengan hukum ada keraguan, dan hal yang sama dialami lembaga hukum lain itu bisa gawat. Itu namanya tidak ada koordinasi yang berjalan dan bisa menghancurkan keseimbangan dalam upaya memberantas korupsi,” tuturnya.
Sementara Adnan Topan Husodo mengatakan, masalah sebenarnya tanggungjawab Kejagung. Dengan dimintanya fatwa kepada MA ada kesan Kejagung ingin melempar masalah.
“MA jangan mau mengabulkan permintaan Kejagung. Heran, apa-apa minta fatwa. Itu kan sudah tanggungjawab Kejagung, jangan melempar masalah ke yang lain,” katanya.
Adnan juga mengatakan, masalah itu bisa saja terjadi deadlock. Kalau sudah begitu, bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum. Apalagi sampai meminta fatwa kepada MA dan MA mengabulkannya, sementara soal eksekusi itu urusan kejaksaan.
Kendati begitu, dia menyarankan agar Kejagung memperbaiki data-data mutakhir terhadap uang pengganti yang dibebankan kepada para koruptor. Tapi Adnan meminta supaya itu dilakukan secara hati-hati karena berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. “Yang jelas jaksa sebagai eksekutor harusnya bisa menjalankan peran itu sebaik-baiknya. Terpenting yaitu bagaimana kinerja mereka bisa baik di mata masyarakat,” tandasnya. RM (sumber rakyat merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar