Lebih Banyak Mudaratnya Ketimbang Manfaatnya
(www.kontras.org 11 Apr 2007) Solusi yang diambil Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY) memotong satu generasi mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dinilai tidak menyelesaikan masalah. Sebab, tindak kekerasan berulang kali terjadi.
SUDAH saatnya dibubarkan saja. Apalagi, pejabat jebolan dari IPDN itu nggak dijamin anti korupsi. Padahal, tindak kekerasan yang dilakukan senior kepada juniornya agar bermental kuat, tapi begitu dihadapkan kepada uang bisa jadi matanya menjadi gelap sehingga tercipta kasus dugaan korupsi.
Indikasi pejabat jebolan dari IPDN itu nggak dijamin anti korupsi bisa dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International Indonesia meningkat dari 2,2 tahun 2005 menjadi 2,4 tahun 2006. Ini menunjukkan betapa meningginya korupsi di Indonesia yang bisa jadi di antaranya dilakukan pejabat jebolan dari IPDN.
Bila melihat dari sisi ini, dan sisi kekerasan yang terjadi di kampus IPDN tentu bisa dikatakan keberadaan Institut itu lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Jadi, sudah saatnya dibubarkan saja.
Desakan itu disampaikan sejumlah rakyat kepada Rakyat Merdeka, antara lain Ketua Barisan Suara Muda Indonesia (Basmi) Sayed Junaidi Rizaldi dan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid di Jakarta, kemarin.
‘’Saat menjadi mahasiswa jago nendang. Begitu menjadi pejabat nggak dijamin anti korupsi. Jadi, keberadaan IPDN lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya,’’ kata Sayed Junaidi Rizaldi.
“IPDN hanya menghasilkan pejabat yang kurang berkualitas. Bisa dibilang nggak berbuat banyak untuk bangsa ini. Saya kira mending dibubarkan saja,” tambahnya.
Dikatakan, para pejabat yang dihasilkan IPDN tidak bisa dijamin 100 persen bakal sukses. Banyak penyelewengan uang negara karena banyak pejabat yang diduga makan duit rakyat.
Untuk menjadi seorang pejabat, menurutnya, tidak perlu harus bersekolah khusus. Apalagi, sekolah itu bisa menciptakan kematian karena adanya tindak kekerasan di sana. Harusnya pemerintah merespon sejak awal ketika IPDN masih bernama STPDN. Itu bukan sekolah militer
‘’Ketika terjadi kematian, pemerintah didesak untuk membenahinya. Tapi sebelumnya ini dipertahankan untuk menghasilkan birokrat-birokrat yang tidak independen,’’ paparnya.
Sementara Usman Hamid mengatakan, IPDN gagal karena hanya bisa mencetak pejabat yang menonjolkan ketahanan fisik daripada pejabat dengan intelektual tinggi yang anti terhadap korupsi.
“IPDN telah gagal dalam mencetak calon pejabat negara yang cerdas. Bisanya hanya menciptakan taruna-taruna tahan pukul saja. Makanya jangan heran kalau pejabat lulusan dari situ kualitasnya masih rendah,” ucapnya.
Terjadi berulangkali tindak kekerasan di IPDN, lanjutnya, merupakan bentuk ajang balas dendam kepada juniornya karena tidak bisa membalaskan kekerasan yang dilakukan pendahulunya. Jadi, lembaga pendidikan di daerah Jatinangor, Sumedang, itu hanya bisa memberikan warisan kekerasan saja.
“Yang ada hanya doktrin militer saja yang mengutamakan keperkasaan fisik dan pengormatan yang berlebihan kepada senior saja. Celakanya hal itu menimbulkan sistem komando saat para praja IPDN menjadi pejabat. Untuk itu mesti ada pengusutan secara tuntas terhadap kasus kematian Cliff Muntu itu. Sebab itu bukan saja tindak pidana melainkan sudah pelanggaran HAM berat,’’ paparnya.
Terhadap pembubaran IPDN, Usman mengaku harus dilakukan pengkajian mendalam. Sebab, masih banyak masyarakat yang berharap putera-puterinya dapat bersekolah di kampus negeri yang biayanya relatif murah.
“Kalau mau dibubarkan mesti ada alternatif lainnya. Sebab, masih banyak masyarakat menengah ke bawah yang berharap dapat menyekolahkan anaknya ke kampus negeri yang biayanya terjangkau. Tapi kalau mau dipertahankan mesti dilakukan perubahan sistemnya,’’ kata Usman. Rakyat Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar