ASSALAMUALAIKUM. WR.WB

Berjuang !
Sebuah tindakan yang kita butuhkan untuk mencapai masyarakat yang lebih baik, mempublikasi diri saya lewat dunia maya ini tak lain tak bukan, agar Dunia tahu apa yang sedang saya lakukan...apa yang saya kerjakan untuk PERUBAHAAN !
Saya butuh dukungan dari sahabat - sahabat yang membaca blog ini dalam rangka meningkatkan aktifitas dan produktifitas saya.
Saya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, saya terlahir dari keluarga yang sederhana..dari ayahnda yang bernama Sayed Abdul Rachman bin Sayed Usman dan ibunda yang bernama Syarifah Rodiah binti Tengku Sayed Umar yang mempunyai jiwa yang luar biasa...saya dilahirkan di Dumai pada hari Khamis, 19 Desember 1974, bintang Sagitarius, Shio Macan.
Saya telah menikah dengan Rr. Setyowati dan mempunyai 2 orang anak, anak pertama Sayed Aqbil Ruhullya Muntazhar , yang kedua Syarifah Risya Dara Saqueena (kelak yang melanjutkan perjuangan Ayahndanya) - SJR-

12 November 2007

Pejabat Jebolan IPDN Nggak Jamin Anti Korupsi


Lebih Banyak Mudaratnya Ketimbang Manfaatnya

(www.kontras.org 11 Apr 2007) Solusi yang diambil Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY) memotong satu generasi mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dinilai tidak menyelesaikan masalah. Sebab, tindak kekerasan berulang kali terjadi.

SUDAH saatnya dibubarkan saja. Apalagi, pe­jabat jebolan dari IPDN itu nggak dijamin anti korupsi. Padahal, tindak kekerasan yang dilakukan senior kepada juniornya agar ber­mental kuat, tapi begitu dihadapkan kepada uang bisa jadi matanya menjadi gelap se­hing­ga tercipta kasus dugaan korupsi.

Indikasi pejabat jebolan dari IPDN itu nggak dijamin anti korupsi bisa dilihat dari In­d­eks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International Indonesia me­ning­kat dari 2,2 tahun 2005 menjadi 2,4 ta­hun 2006. Ini menunjukkan betapa me­ning­gi­nya ko­rupsi di Indonesia yang bisa jadi di an­­taranya dilakukan pejabat jebolan dari IPDN.

Bila melihat dari sisi ini, dan sisi kekerasan yang terjadi di kampus IPDN tentu bisa dika­­takan keberadaan Institut itu lebih banyak mu­daratnya ketimbang manfaatnya. Jadi, sudah saatnya dibubarkan saja.

Desakan itu disampaikan sejumlah rakyat kepada Rakyat Merdeka, antara lain Ketua Barisan Suara Muda Indonesia (Basmi) Sayed Ju­naidi Rizaldi dan Koordinator Komisi Un­tuk Orang Hilang dan Korban Tindak Ke­ke­rasan (Kontras) Usman Hamid di Jakarta, kemarin.

‘’Saat menjadi mahasiswa jago nendang. Begitu menjadi pejabat nggak dijamin anti ko­rupsi. Jadi, keberadaan IPDN lebih banyak mu­­daratnya ketimbang manfaatnya,’’ kata Sayed Junaidi Rizaldi.

“IPDN hanya menghasilkan pejabat yang ku­rang berkualitas. Bisa dibilang nggak ber­buat banyak untuk bangsa ini. Saya kira men­ding dibubarkan saja,” tambahnya.

Dikatakan, para pejabat yang dihasilkan IPDN tidak bisa dijamin 100 persen bakal suk­ses. Banyak penyelewengan uang negara ka­rena banyak pejabat yang diduga makan duit rakyat.

Untuk menjadi seorang pejabat, menu­rut­nya, tidak perlu harus bersekolah khusus. Apa­lagi, sekolah itu bisa menciptakan ke­ma­tian karena adanya tindak kekerasan di sana. Harusnya pemerintah merespon sejak awal ketika IPDN masih bernama STPDN. Itu bu­kan sekolah militer

‘’Ketika terjadi kematian, pemerintah dide­sak untuk membenahinya. Tapi sebelumnya ini dipertahankan untuk menghasilkan bi­rokrat-birokrat yang tidak independen,’’ paparnya.

Sementara Usman Hamid mengatakan, IPDN gagal karena hanya bisa mencetak pe­jabat yang menonjolkan ketahanan fisik da­ri­pada pejabat dengan intelektual tinggi yang anti terhadap korupsi.

“IPDN telah gagal dalam mencetak calon pejabat negara yang cerdas. Bisanya hanya men­ciptakan taruna-taruna tahan pukul saja. Ma­kanya jangan heran kalau pejabat lulusan dari situ kualitasnya masih rendah,” ucapnya.

Terjadi berulangkali tindak kekerasan di IPDN, lanjutnya, merupakan bentuk ajang balas dendam kepada juniornya karena tidak bisa membalaskan kekerasan yang dilakukan pen­dahulunya. Jadi, lembaga pendidikan di daerah Jatinangor, Sumedang, itu hanya bisa mem­berikan warisan kekerasan saja.

“Yang ada hanya doktrin militer saja yang me­ng­utamakan keperkasaan fisik dan pe­ngormatan yang berlebihan kepada senior saja. Celakanya hal itu menimbulkan sistem ko­mando saat para praja IPDN menjadi pe­jabat. Untuk itu mesti ada pengusutan secara tuntas terhadap kasus kematian Cliff Muntu itu. Sebab itu bukan saja tindak pidana melain­kan sudah pelanggaran HAM berat,’’ paparnya.

Terhadap pembubaran IPDN, Usman me­ngaku harus dilakukan pengkajian men­da­lam. Sebab, masih banyak masyarakat yang berharap putera-puterinya dapat bersekolah di kampus negeri yang biayanya relatif murah.

“Kalau mau dibubarkan mesti ada alter­natif lainnya. Sebab, masih banyak ma­sya­rakat menengah ke bawah yang berharap da­pat menyekolahkan anaknya ke kampus ne­geri yang biayanya terjangkau. Tapi kalau mau dipertahankan mesti dilakukan peru­bah­an sistemnya,’’ kata Usman. Rakyat Merdeka

Tidak ada komentar:

KELUARGA Anugerah Yang Tiada Ternilai